Sabtu, 19 Februari 2011

Sri Janda Kembang Penuh Nafsu

Telah belasan tahun berpraktek aku di kawasan kumuh ibu kota, tepatnya di kawasan Pelabuhan Rakyat di Jakarta Barat. Pasienku lumayan banyak, namun rata-rata dari kelas menengah ke bawah. Jadi sekalipun telah belasan tahun aku berpraktek dengan jumlah pasien lumayan, aku tetap saja tidak berani membina rumah tangga, sebab aku benar-benar ingin membahagiakan isteriku, bila aku memilikinya kelak, dan kebahagiaan dapat dengan mudah dicapai bila kantongku tebal, simpananku banyak di bank dan rumahku besar.
Namun aku tidak pernah mengeluh akan keadaanku ini. Aku tidak ingin membanding-bandingkan diriku pada Dr. Susilo yang ahli bedah, atau Dr. Hartoyo yang spesialis kandungan, sekalipun mereka dulu waktu masih sama-sama kuliah di fakultas kedokteran sering aku bantu dalam menghadapi ujian. Mereka adalah bintang kedokteran yang sangat cemerlang di bumi pertiwi, bukan hanya ketenaran nama, juga kekayaan yang tampak dari Baby Benz, Toyota Land Cruiser, Pondok Indah, Permata Hijau, Bukit Sentul dll.
Dengan pekerjaanku yang melayani masyarakat kelas bawah, yang sangat memerlukan pelayanan kesehatan yang terjangkau, aku memperoleh kepuasan secara batiniah, karena aku dapat melayani sesama dengan baik. Namun, dibalik itu, aku pun memperoleh kepuasan yang amat sangat di bidang non materi lainnya.
Suatu malam hari, aku diminta mengunjungi pasien yang katanya sedang sakit parah di rumahnya. Seperti biasa, aku mengunjunginya setelah aku menutup praktek pada sekitar setengah sepuluh malam. Ternyata sakitnya sebenarnya tidaklah parah bila ditinjau dari kacamata kedokteran, hanya flu berat disertai kurang darah, jadi dengan suntikan dan obat yang biasa aku sediakan bagi mereka yang kesusahan memperoleh obat malam malam, si ibu dapat di ringankan penyakitnya.
Saat aku mau meninggalkan rumah si ibu, ternyata tanggul di tepi sungai jebol, dan air bah menerjang, hingga mobil kijang bututku serta merta terbenam sampai setinggi kurang lebih 50 senti dan mematikan mesin yang sempat hidup sebentar. Air di mana-mana, dan aku pun membantu keluarga si ibu untuk mengungsi ke atas, karena kebetulan rumah petaknya terdiri dari 2 lantai dan di lantai atas ada kamar kecil satu-satunya tempat anak gadis si ibu tinggal.
Karena tidak ada kemungkinan untuk pulang, maka si Ibu menawarkan aku untuk menginap sampai air surut. Di kamar yang sempit itu, si ibu segera tertidur dengan pulasnya, dan tinggallah aku berduaan dengan anak si ibu, yang ternyata dalam sinar remang-remang, tampak manis sekali, maklum, umurnya aku perkirakan baru sekitar awal dua puluhan.
“Pak dokter, maaf ya, kami tidak dapat menyuguhkan apa apa, agaknya semua perabotan dapur terendam di bawah”, katanya dengan suara yang begitu merdu, sekalipun di luar terdengar hamparan hujan masih mendayu dayu.
“Oh, enggak apa-apa kok Dik”, sahutku.
Dan untuk melewati waktu, aku banyak bertanya padanya, yang ternyata bernama Sri.
Ternyata Sri adalah janda tanpa anak, yang suaminya meninggal karena kecelakaan di laut 2 tahun yang lalu. Karena hanya berdua saja dengan ibunya yang sakit-sakitan, maka Sri tetap menjanda. Sri sekarang bekerja pada pabrik konveksi pakaian anak-anak, namun perusahaan tempatnya bekerja pun terkena dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Saat aku melirik ke jam tanganku, ternyata jam telah menunjukkan setengah dua dini hari, dan aku lihat Sri mulai terkantuk-kantuk, maka aku sarankan dia untuk tidur saja, dan karena sempitnya kamar ini, aku terpaksa duduk di samping Sri yang mulai merebahkan diri.
Tampak rambut Sri yang panjang terburai di atas bantal. Dadanya yang membusung tampak bergerak naik turun dengan teraturnya mengiringi nafasnya. Ketika Sri berbalik badan dalam tidurnya, belahan bajunya agak tersingkap, sehingga dapat kulihat buah dadanya yang montok dengan belahan yang sangat dalam. Pinggangnya yang ramping lebih menonjolkan busungan buah dadanya yang tampak sangat menantang. Aku coba merebahkan diri di sampingnya dan ternyata Sri tetap lelap dalam tidurnya.
Pikiranku menerawang, teringat aku akan Wati, yang juga mempunyai buah dada montok, yang pernah aku tiduri malam minggu yang lalu, saat aku melepaskan lelah di panti pijat tradisional yang terdapat banyak di kawasan aku berpraktek. Tapi Wati ternyata hanya nikmat di pandang, karena permainan seksnya jauh di bawah harapanku. Waktu itu aku hampir-hampir tidak dapat pulang berjalan tegak, karena burungku masih tetap keras dan mengacung setelah ‘selesai’ bergumul dengan Wati. Maklum, aku tidak terpuaskan secara seksual, dan kini, telah seminggu berlalu, dan aku masih memendam berahi di antara selangkanganku.
Aku mencoba meraba buah dada Sri yang begitu menantang, ternyata dia tidak memakai beha di bawah bajunya. Teraba puting susunya yang mungil. dan ketika aku mencoba melepaskan bajunya, ternyata dengan mudah dapat kulakukan tanpa membuat Sri terbangun. Aku dekatkan bibirku ke putingnya yang sebelah kanan, ternyata Sri tetap tertidur. Aku mulai merasakan kemaluanku mulai membesar dan agak menegang, jadi aku teruskan permainan bibirku ke puting susu Sri yang sebelah kiri, dan aku mulai meremas buah dada Sri yang montok itu. Terasa Sri bergerak di bawah himpitanku, dan tampak dia terbangun, namun aku segera menyambar bibirnya, agar dia tidak menjerit. Aku lumatkan bibirku ke bibirnya, sambil menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya. Terasa sekali Sri yang semula agak tegang, mulai rileks, dan agaknya dia menikmati juga permainan bibir dan lidahku, yang disertai dengan remasan gemas pada ke dua buah dadanya.
Setalah aku yakin Sri tidak akan berteriak, aku alihkan bibirku ke arah bawah, sambil tanganku mencoba menyibakkan roknya agar tanganku dapat meraba kulit pahanya. Ternyata Sri sangat bekerja sama, dia gerakkan bokongnya sehingga dengan mudah malah aku dapat menurunkan roknya sekaligus dengan celana dalamnya, dan saat itu kilat di luar membuat sekilas tampak pangkal paha Sri yang mulus, dengan bulu kemaluan yang tumbuh lebat di antara pangkal pahanya itu.
Kujulurkan lidahku, kususupi rambut lebat yang tumbuh sampai di tepi bibir besar kemaluannya. Di tengah atas, ternyata clitoris Sri sudah mulai mengeras, dan aku jilati sepuas hatiku sampai terasa Sri agak menggerakkan bokongnya, pasti dia menahan gejolak berahinya yang mulai terusik oleh jilatan lidahku itu.
Sri membiarkan aku bermain dengan bibirnya, dan terasa tangannya mulai membuka kancing kemejaku, lalu melepaskan ikat pinggangku dan mencoba melepaskan celanaku. Agaknya Sri mendapat sedikit kesulitan karena celanaku terasa sempit karena kemaluanku yang makin membesar dan makin menegang.
Sambil tetap menjilati kemaluannya, aku membantu Sri melepaskan celana panjang dan celana dalamku sekaligus, sehingga kini kami telah bertelanjang bulat, berbaring bersama di lantai kamar, sedangkan ibunya masih nyenyak di atas tempat tidur.
Mata Sri tampak agak terbelalak saat dia memandang ke arah bawah perutku, yang penuh ditumbuhi oleh rambut kemaluanku yang subur, dan batang kemaluanku yang telah membesar penuh dan dalam keadaan tegang, menjulang dengan kepala kemaluanku yang membesar pada ujungnya dan tampak merah berkilat.
Kutarik kepala Sri agar mendekat ke kemaluanku, dan kusodorkan kepala kemaluanku ke arah bibirnya yang mungil. Ternyata Sri tidak canggung membuka mulutnya dan mengulum kepala kemaluanku dengan lembutnya. Tangan kanannya mengelus batang kemaluanku sedangkan tangan kirinya meremas buah kemaluanku. Aku memajukan bokongku dan batang kemaluanku makin dalam memasuki mulut Sri. Kedua tanganku sibuk meremas buah dadanya, lalu bokongnya dan juga kemaluannya. Aku mainkan jariku di clitoris Sri, yang membuatnya menggelinjang, saat aku rasakan kemaluan Sri mulai membasah, aku tahu, saatnya sudah dekat.
Kulepaskan kemaluanku dari kuluman bibir Sri, dan kudorong Sri hingga telentang. Rambut panjangnya kembali terburai di atas bantal. Sri mulai sedikit merenggangkan kedua pahanya, sehingga aku mudah menempatkan diri di atas badannya, dengan dada menekan kedua buah dadanya yang montok, dengan bibir yang melumat bibirnya, dan bagian bawah tubuhku berada di antara kedua pahanya yang makin dilebarkan. Aku turunkan bokongku, dan terasa kepala kemaluanku menyentuh bulu kemaluan Sri, lalu aku geserkan agak ke bawah dan kini terasa kepala kemaluanku berada diantara kedua bibir besarnya dan mulai menyentuh mulut kemaluannya.
Kemudian aku dorongkan batang kemaluanku perlahan-lahan menyusuri liang sanggama Sri. Terasa agak seret majunya, karena Sri telah menjanda dua tahun, dan agaknya belum merasakan batang kemaluan laki-laki sejak itu. Dengan sabar aku majukan terus batang kemaluanku sampai akhirnya tertahan oleh dasar kemaluan Sri. Ternyata kemaluanku cukup besar dan panjang bagi Sri, namun ini hanya sebentar saja, karena segera terasa Sri mulai sedikit menggerakkan bokongnya sehingga aku dapat mendorong batang kemaluanku sampai habis, menghunjam ke dalam liang kemaluan Sri.
Aku membiarkan batang kemaluanku di dalam liang kemaluan Sri sekitar 20 detik, baru setelah itu aku mulai menariknya perlahan-lahan, sampai kira-kira setengahnya, lalu aku dorongkan dengan lebih cepat sampai habis. Gerakan bokongku ternyata membangkitkan berahi Sri yang juga menimpali dengan gerakan bokongnya maju dan mundur, kadangkala ke arah kiri dan kanan dan sesekali bergerak memutar, yang membuat kepala dan batang kemaluanku terasa di remas-remas oleh liang kemaluan Sri yang makin membasah.
Tidak terasa, Sri terdengar mendasah dasah, terbaur dengan dengusan nafasku yang ditimpali dengan hawa nafsu yang makin membubung. Untuk kali pertama aku menyetubuhi Sri, aku belum ingin melakukan gaya yang barangkali akan membuatnya kaget, jadi aku teruskan gerakan bokongku mengikuti irama bersetubuh yang tradisional, namun ini juga membuahkan hasil kenikmatan yang amat sangat. Sekitar 40 menit kemudian, disertai dengan jeritan kecil Sri, aku hunjamkan seluruh batang kemaluanku dalam dalam, kutekan dasar kemaluan Sri dan seketika kemudian, terasa kepala kemaluanku menggangguk-angguk di dalam kesempitan liang kemaluan Sri dan memancarkan air maniku yang telah tertahan lebih dari satu minggu.
Terasa badan Sri melamas, dan aku biarkan berat badanku tergolek di atas buah dadanya yang montok. Batang kemaluanku mulai melemas, namun masih cukup besar, dan kubiarkan tergoler dalam jepitan liang kemaluannya. Terasa ada cairan hangat mengalir membasahi pangkal pahaku. Sambil memeluk tubuh Sri yang berkeringat, aku bisikan ke telinganya, “Sri, terima kasih, terima kasih..”

Nana Gadis Penuh Gairah

Belum lama ini aku kembali bertemu Nana (bukan nama sebenarnya). Ia kini sudah berkeluarga dan sejak menikah tinggal di Palembang. Untuk suatu urusan keluarga, ia bersama anaknya yang masih berusia 6 tahun pulang ke Yogya tanpa disertai suaminya. Nana masih seperti dulu, kulitnya yang putih, bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang lebat tumbuh terjaga selalu di atas bahu. Meski rambutnya agak kemerahan namun karena kulitnya yang putih bersih, selalu saja menarikdipandang, apalagi kalau berada dalam pelukan dan dielus-elus. Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Nana.
Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah, terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah, isteriku melahirkan anak kami yang pertama. Hubungan kami rukun dan saling mencintai. Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu melahirkan, isteriku mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat bayi di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Nana) serta Nana dengan suka rela bergiliran membantu kerepotan kami. Semua berlalu selamat sampai isteriku diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat dan menyusui anak kami.
Hari-hari berikutnya, Nana masih sering datang menengok anak kami yang katanya cantik dan lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Nana. Kalau sedang rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Nana menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan Nana. Sepulang kuliah, kalau ada waktu, Nana selalu mampir dan membantu isteriku merawat si kecil. Lama-lama Nana sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas bantuan Nana. Tampaknya Nana tulus dan ikhlas membantu kami. Apalagi aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi kami berkurang nakalnya. Nana mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor, Nana tiba-tiba muncul.
“Ada apa Na, malam-malam begini.”
“Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Nana mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Nana terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada apa, Nana?”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Nana tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Nana, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara, Nana sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras. Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku. Nana merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki yang pas.”
Kuangkat tubuh Nana dan kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja kerja. Aku bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku mengunci dan menutup kelambu ruangan.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Nana sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut. Nana merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Nana kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal. Aliran listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu menyambut keliaran Nana. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatanini.
“Kamu amat bergairah, Nana..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama.. ukh..” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Nana sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Nana telah diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat hingga badan Nana lekat ke dadaku. Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Nana, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Nana mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera menyedot putingnya. “Sedot kuat-kuat Mas, sedoott..” bisiknya. Aku memenuhi permintaannya dan Nana tak kuasa menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang ber-AC itu terasa makin hangat. “Mas lepas..” katanya sambil telentang di lantai. Nana meminta aku melepas pakaian. Nana sendiri pun melepas rok dan celana dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam. Nana melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu. Segera aku menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping sembari kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya. Nana melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera mengarahkan putingnya ke mulutku.
“Mas sedot Mas.. teruskan, enak sekali Mas.. enak..” Kupenuhi permintaannya sembari kupijat-pijat pantatnya. Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Nana. Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup mantap untuk mendaratkan pesawat “cocorde” milikku. Kumainkan jemariku di sana dan Nana tampak sedikit tersentak. “Ukh.. khmem.. hss.. terus.. terus,” lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya kugencarkan, jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat kenikmatannya. Terasa jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan kecil daging di dinding atas depan vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Nana dengan teknik petik melodi.
Nana menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat. “Mas.. Mas.. ampun.. terus, ampun.. terus ukhh..” Sebentar kemudian Nana lemas. Namun itu tidak berlangsung lama karena Nana kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan serta merta Nana menarik celana dalamku. Bersamaan dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan Tari. Akibatnya, memukul ke arah wajah Nana. “Uh.. Mas.. apaan ini,” kata Nana kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan Nana langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas.. ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Nana geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol aliran otot keras. Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Nana langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Nana menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Nana memandangiku penuh harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Nana. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Nana tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Nana. Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya. “Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Nana justru mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas. Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Nana tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit. Nana tidak gentar, malah menyongsongnya penuh gairah.
“Jangan paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa.. tusuk aku. Keras.. keras jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Nana menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari dalam vagina Nana, meleleh keluar. Aku melirik, darah.. darah segar. Nana diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku menahan penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya, kucari ujung puting Nana dengan mulutku. Meski agak membungkuk, aku dapat mencapainya. Nana sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang hanya separuh jalan, turun naik dan Nana mulai tampak menikmatinya. Pergerakan konstan itu kupertahankan cukup lama. Makin lama tusukanku makin dalam. Nana pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan mengalirkan cairan pelicin. Nana mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih, “Uuuhh.. Mas.. uhh.. enaakk.. enaakk.. Terus.. aduh.. ya ampun enaknya..” Nana melemas dan terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku duduk di samping Nana yang terkulai.
“Nana, kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Nana memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang berhasil menembus keperawanannya karena selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh garangnya Nana mengajak senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak kejadian itu, Nana selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu menghindar. Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari. Nana waktu itu kesetanan dan kuladeni kemauannya dengan segala gaya. Nana mengaku puas.
Setelah lulus, Nana menikah dan tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang ke Yogya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Danu, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Nana pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan.

Kisah Pembantu Rumah Tangga

Kisahku mungkin biasa saja, yakni tentang prt (pembantu rumah tangga) yang diperkosa majikannya. Memang tidak ada yang istimewa kalau cuma kejadian semacam itu, namun yang membuat kisahku unik adalah karena aku tidak hanya diperkosa majikanku sekali. Namun, setiap kali ganti majikan hingga tiga kali aku selalu mengalami perkosaan. Baik itu perkosaan kasar maupun halus. Aku akan menceritakan kisahku itu setiap majikan dalam satu cerita.
Begini kisahku dengan majikan pertama yang kubaca lowongannya di koran. Dia mencari prt untuk mengurus rumah kontrakannya karena ia sibuk bekerja. Aku wajib membersihkan rumah, memasak, mencuci, belanja dll, pokoknya seluruh pekerjaan rumah tangga. Untungnya aku menguasai semuanya sehingga tidak menyulitkan. Apalagi gajinya lumayan besar plus aku bebas makan, minum serta berobat kalau sakit.
Manajer sekitar 35 tahunan itu bernama Pak S, asal Medan dan sedang ditugasi di kotaku membangun suatu pabrik. Mungkin sekitar 2 tahun baru proyek itu selesai dan selama itu ia mendapat fasilitas rumah kontrakan. Ia sendirian. Istri dan anaknya tak dibawa serta karena takut mengganggu sekolahnya kalau berpindah-pindah.
Sebagai wanita Jawa berusia 25 tahun mula-mula aku agak takut menghadapi kekasaran orang etnis itu, namun setelah beberapa minggu akupun terbiasa dengan logat kerasnya. Pertama dulu memang kukira ia marah, namun sekarang aku tahu bahwa kalau ia bersuara keras memang sudah pembawaan. Kadang ia bekerja sampai malam. Sedangkan kebiasaanku setiap petang adalah menunggunya setelah menyiapkan makan malam. Sambil menunggu, aku nonton TV di ruang tengah, sambil duduk di hamparan permadani lebar di situ. Begitu suara mobilnya terdengar, aku bergegas membuka pintu pagar dan garasi dan menutupnya lagi setelah ia masuk.
“Tolong siapkan air panas, Yem,” suruhnya suatu petang, “Aku kurang enak badan.” Akupun bergegas menjerang air dan menyiapkan bak kecil di kamar mandi di kamarnya. Kulihat ia menjatuhkan diri di kasurnya tanpa melepas sepatunya. Setelah mengisi bak air dengan air secukupnya aku berbalik keluar. Tapi melihat Pak Siregar masih tiduran tanpa melepas sepatu, akupun berinisiatif.
“Sepatunya dilepas ya, pak,” kataku sambil menjangkau sepatunya.
“Heeh,” sahutnya mengiyakan. Kulepas sepatu dan kaos kakinya lalu kuletakkan di bawah ranjang.
“Tubuh bapak panas sekali ya?” tanyaku karena merasakan hawa panas keluar dari tubuhnya. “Bapak masuk angin, mau saya keroki?” tawarku sebagaimana aku sering lakukan di dalam keluargaku bila ada yang masuk angin.
“Keroki bagaimana, Yem?” Baru kuingat bahwa ia bukan orang Jawa dan tidak tahu apa itu kerokan. Maka sebisa mungkin kujelaskan.
“Coba saja, tapi kalau sakit aku tak mau,” katanya. Aku menyiapkan peralatan lalu menuangkan air panas ke bak mandi.
“Sekarang bapak cuci muka saja dengan air hangat, tidak usah mandi,” saranku. Dan ia menurut. Kusiapkan handuk dan pakaiannya. Sementara ia di kamar mandi aku menata kasurnya untuk kerokan. Tak lama ia keluar kamar mandi tanpa baju dan hanya membalutkan handuknya di bagian bawah. Aku agak jengah. Sambil membaringkan diri di ranjang ia menyuruhku, “Tolong kau ambil handuk kecil lalu basahi dan seka badanku yang berkeringat ini.” Aku menurut. Kuambil washlap lalu kucelup ke sisa air hangat di kamar mandi, kemudian seperti memandikan bayi dadanya yang berbulu lebat kuseka, termasuk ketiak dan punggungnya sekalian.
“Bapak mau makan dulu?” tanyaku.
“Tak usahlah. Kepala pusing gini mana ada nafsu makan?” jawabnya dengan logat daerah, “Cepat kerokin aja, lalu aku mau tidur.”
Maka ia kusuruh tengkurap lalu mulai kuborehi punggungnya dengan minyak kelapa campur minyak kayu putih. Dengan hati-hati kukerok dengan uang logam lima puluhan yang halus. Punggung itu terasa keras. Aku berusaha agar ia tidak merasa sakit. Sebentar saja warna merah sudah menggarisi punggungnya. Dua garis merah di tengah dan lainnya di sisi kanan.
“Kalau susah dari samping, kau naik sajalah ke atas ranjang, Yem,” katanya mengetahui posisiku mengerokku kurang enak. Ia lalu menggeser ke tengah ranjang.
“Maaf, pak,” akupun memberanikan diri naik ke ranjang, bersedeku di samping kanannya lalu berpindah ke kirinya setelah bagian kanan selesai.
“Sekarang dadanya, pak,” kataku. Lalu ia berguling membalik, entah sengaja entah tidak handuk yang membalut pahanya ternyata sudah kendor dan ketika ia membalik handuk itu terlepas, kontan nampaklah penisnya yang cukup besar. Aku jadi tergagap malu.
“Ups, maaf Yem,” katanya sambil membetulkan handuk menutupi kemaluannya itu. Sekedar ditutupkan saja, tidak diikat ke belakang. Sebagian pahanya yang berbulu nampak kekar.
“Eh, kamu belum pernah lihat barangnya laki-laki, Yem?”
“Bbb..belum, pak,” jawabku. Selama ini aku baru melihat punya adikku yang masih SD.
“Nanti kalau sudah kawin kamu pasti terbiasalah he he he..” guraunya. Aku tersipu malu sambil melanjutkan kerokanku di dadanya. Bulu-bulu dada yang tersentuh tanganku membuatku agak kikuk. Apalagi sekilas nampak Pak S malah menatap wajahku.
“Biasanya orang desa seusia kau sudah kawinlah. Kenapa kau belum?”
“Saya pingin kerja dulu, pak.”
“Kau tak ingin kawin?”
“Ingin sih pak, tapi nanti saja.”
“Kawin itu enak kali, Yem, ha ha ha.. Tak mau coba? Ha ha ha..” Wajahku pasti merah panas.
“Sudah selesai, pak,” kataku menyelesaikan kerokan terakhir di dadanya.
“Sabar dululah, Yem. Jangan buru-buru. Kerokanmu enak kali. Tolong kau ambil minyak gosok di mejaku itu lalu gosokin dadaku biar hangat,” pintanya. Aku menurut. Kuambil minyak gosok di meja lalu kembali naik ke ranjang memborehi dadanya.
“Perutnya juga, Yem,” pintanya lagi sambil sedikit memerosotkan handuk di bagian perutnya. Pelan kuborehkan minyak ke perutnya yang agak buncit itu. Handuknya nampak bergerak-gerak oleh benda di bawahnya, dan dari sela-selanya kulihat rambut-rambut hitam. Aku tak berani membayangkan benda di bawah handuk itu. Namun bayangan itu segera jadi kenyataan ketika tangan Pak S menangkap tanganku sambil berbisik, “Terus gosok sampai bawah, Yem,” dan menggeserkan tanganku terus ke bawah sampai handuknya ikut terdorong ke bawah. Nampaklah rambut-rambut hitam lebat itu, lalu.. tanganku dipaksa berhenti ketika mencapai zakarnya yang menegang.
“Jangan, pak,” tolakku halus.
“Tak apa, Yem. Kau hanya mengocok-ngocok saja..” Ia menggenggamkan penisnya ke tanganku dan menggerak-gerakkannya naik turun, seperti mengajarku bagaimana mengonaninya.
“Jangan, pak.. jangan..” protesku lemah. Tapi aku tak bisa beranjak dan hanya menuruti perlakuannya. Sampai aku mulai mahir mengocok sendiri.
“Na, gitu terus. Aku sudah lama tak ketemu istriku, Yem. Sudah tak tahan mau dikeluarin.. Kau harus bantu aku.. Kalau onani sendiri aku sudah sulit, Yem. Harus ada orang lain yang mengonani aku.. Tolong Yem, ya?” pintanya dengan halus. Aku jadi serba salah. Tapi tanganku yang menggenggam terus kugerakkan naik turun. Sekarang tangannya sudah berada di sisi kanan-kiri tubuhnya. Ia menikmati kocokanku sambil merem melek.
“Oh. Yem, nikmat kali kocokanmu.. Iya, pelan-pelan aja Yem. Tak perlu tergesa-gesa.. oohh.. ugh..” Tiba-tiba tangan kanannya sudah menjangkau tetekku dan meremasnya. Aku kaget, “Jangan pak!” sambil berkelit dan menghentikan kocokan.
“Maaf, Yem. Aku benar-benar tak tahan. Biasanya aku langsung peluk istriku. Maaf ya Yem. Sekarang kau kocoklah lagi, aku tak nakal lagi..” Sambil tangannya membimbing tanganku kembali ke arah zakarnya. Aku beringsut mendekat kembali sambil takut-takut. Tapi ternyata ia memegang perkataannya. Tangannya tak nakal lagi dan hanya menikmati kocokanku.
Sampai pegal hampir 1/2 jam aku mengocok namun ia tak mau berhenti juga.
“Sudah ya, pak,” pintaku.
“Jangan dulu, Yem. Nantilah sampai keluar..”
“Keluar apanya, pak?” tanyaku polos.
“Masak kau belum tahu? Keluar spermanyalah.. Paling nggak lama lagi.. Tolong ya, Yem, biar aku cepat sehat lagi.. Besok kau boleh libur sehari dah..”
Ingin tahu bagaimana spermanya keluar, aku mengocoknya lebih deras lagi. Zakarnya semakin tegang dan merah berurat di sekelilingnya. Genggaman tanganku hampir tak muat. 15 menit kemudian.
“Ugh, lihat Yem, sudah mau keluar. Terus kocok, teruuss.. Ugh..” Tiba-tiba tubuhnya bergetar-getar dan.. jreet.. jret.. cret.. cret.. cairan putih susu kental muncrat dari ujung zakarnya ke atas sperti air muncrat. Aku mengocoknya terus karena zakar itu masih terus memuntahkan spermanya beberapa kali. Tanganku yang kena sperma tak kupedulikan. Aku ingin melihat bagaimana pria waktu keluar sperma. Setelah spermanya berhenti dan dia nampak loyo, aku segera ke kamar mandi mencuci tangan.
“Tolong cucikan burungku sekalian, Yem, pake washlap tadi..” katanya padaku. Lagi-lagi aku menurut. Kulap dengan air hangat zakar yang sudah tak tegang lagi itu serta sekitar selangkangannya yang basah kena sperma..
“Sudah ya pak. Sekarang bapak tidur saja, biar sehat,” kataku sambil menyelimuti tubuh telanjangnya. Ia tak menjawab hanya memejamkan matanya dan sebentar kemudian dengkur halusnya terdengar. Perlahan kutinggalkan kamarnya setelah mematikan lampu. Malam itu aku jadi sulit tidur ingat pengalaman mengonani Pak S tadi. Ini benar-benar pengalaman pertamaku. Untung ia tidak memperkosaku, pikirku.
Namun hari-hari berikut, kegiatan tadi jadi semacam acara rutin kami. Paling tidak seminggu dua kali pasti terjadi aku disuruh mengocoknya. Lama-lama akupun jadi terbiasa. Toh selama ini tak pernah terjadi perkosaan atas vaginaku. Namun yang terjadi kemudian malah perkosaan atas mulutku. Ya, setelah tanganku tak lagi memuaskan, Pak S mulai memintaku mengonani dengan mulutku. Mula-mula aku jelas menolak karena jijik. Tapi ia setengah memaksa dengan menjambak rambutku dan mengarahkan mulutku ke penisnya.
“Cobalah, Yem. Tak apa-apa.. Jilat-jilat aja dulu. Sudah itu baru kamu mulai kulum lalu isep-isep. Kalau sudah terbiasa baru keluar masukkan di mulutmu sampai spermanya keluar. Nanti aku bilang kalau mau keluar..” Awalnya memang ia menepati, setiap hendak keluar ia ngomong lalu cepat-cepat kulepaskan mulutku dari penisnya sehingga spermanya menyemprot di luar mulut. Namun setelah berlangsung 2-3 minggu, suatu saat ia sengaja tidak ngomong, malah menekan kepalaku lalu menyemprotkan spermanya banyak-banyak di mulutku sampai aku muntah-muntah. Hueekk..! Jijik sekali rasanya ketika cairan kental putih asin agak amis itu menyemprot tenggorokanku. Ia memang minta maaf karena hal ini, tapi aku sempat mogok beberapa hari dan tak mau mengoralnya lagi karena marah. Namun hatiku jadi tak tega ketika ia dengan memelas memintaku mengoralnya lagi karena sudah beberapa bulan ini tak sempat pulang menjenguk istrinya. Anehnya, ketika setiap hendak keluar sperma ia ngomong, aku justru tidak melepaskan zakarnya dari kulumanku dan menerima semprotan sperma itu. Lama-lama ternyata tidak menjijikkan lagi.
Demikianlah akhirnya aku semakin lihai mengoralnya. Sudah tak terhitung berapa banyak spermanya kutelan, memasuki perutku tanpa kurasakan lagi. Asin-asin kental seperti fla agar-agar. Akibat lain, aku semakin terbiasa tidur dipeluk Pak S. Bagaimana lagi, setelah capai mengoralnya aku jadi enggan turun dari ranjangnya untuk kembali ke kamarku. Mataku pasti lalu mengantuk, dan lagi, toh ia tak akan memperkosaku. Maka begitu acara oral selesai kami tidur berdampingan. Ia telanjang, aku pakai daster, dan kami tidur dalam satu selimut. Tangannya yang kekar memelukku. Mula-mula aku takut juga tapi lama-lama tangan itu seperti melindungiku juga. Sehingga kubiarkan ketika memelukku, bahkan akhir-akhir ini mulai meremasi tetek atau pantatku, sementara bibirnya menciumku. Sampai sebatas itu aku tak menolak, malah agak menikmati ketika ia menelentangkan tubuhku dan menindih dengan tubuh bugilnya.
“Oh, Yem.. Aku nggak tahan, Yem.. buka dastermu ya?” pintanya suatu malam ketika tubuhnya di atasku.
“Jangan pak,” tolakku halus.
“Kamu pakai beha dan CD saja, Yem, gak bakal hamil. Rasanya pasti lebih nikmat..” rayunya sambil tangannya mulai mengkat dasterku ke atas.
“Jangan pak, nanti keterusan saya yang celaka. Begini saja sudah cukup pak..” rengekku.
“Coba dulu semalam ini saja, Yem, kalau tidak nikmat besok tidak diulang lagi..” bujuknya sambil meneruskan menarik dasterku ke atas dan terus ke atas sampai melewati kepalaku sebelum aku sempat menolak lagi.
“Woow, tubuhmu bagus, Yem,” pujinya melihat tubuh coklatku dengan beha nomor 36.
“Malu ah, Pak kalau diliatin terus,” kataku manja sambil menutup dengan selimut. Tapi sebelum selimut menutup tubuhku, Pak S sudah lebih dulu masuk ke dalam selimut itu lalu kembali menunggangi tubuhku. Bibirku langsung diserbunya. Lidahku dihisap, lama-lama akupun ikut membalasnya. Usai saling isep lidah. Lidahnya mulai menuruni leherku. Aku menggelinjang geli. Lebih lagi sewaktu lidahnya menjilat-jilat pangkal payudaraku sampai ke sela-sela tetekku hingga mendadak seperti gemas ia mengulum ujung behaku dan mengenyut-ngenyutnya bergantian kiri-kanan. Spontan aku merasakan sensasi rasa yang luar biasa nikmat. Refleks tanganku memeluk kepalanya. Sementara di bagian bawah aku merasa pahanya menyibakkan pahaku dan menekankan zakarnya tepat di atas CD-ku.
“Ugh.. aduuh.. nikmat sekali,” aku bergumam sambil menggelinjang menikmati cumbuannya. Aku terlena dan entah kapan dilepasnya tahu-tahu payudaraku sudah tak berbeha lagi. Pak S asyik mengenyut-ngenyut putingku sambil menggenjot-genjotkan zakarnya di atas CD-ku.
“Jangan buka CD saya, pak,” tolakku ketika merasakan tangannya sudah beraksi memasuki CDku dan hendak menariknya ke bawah. Ia urungkan niatnya tapi tetap saja dua belah tangannya parkir di pantatku dan meremas-remasnya. Aku merinding dan meremang dalam posisi kritis tapi nikmat ini. Tubuh kekar Pak S benar-benar mendesak-desak syahwatku.
Jadilah semalaman itu kami tak tidur. Sibuk bergelut dan bila sudah tak tahan Pak Siregar meminta aku mengoralnya. Hampir subuh ketika kami kecapaian dan tidur berpelukan dengan tubuh bugil kecuali aku pakai CD. Aku harus mampu bertahan, tekadku. Pak S boleh melakukan apa saja pada tubuhku kecuali memerawaniku.
Tapi tekad tinggal tekad. Setelah tiga hari kami bersetubuh dengan cara itu, pada malam keempat Pak S mengeluarkan jurusnya yang lebih hebat dengan menjilati seputar vaginaku meskipun masih ber-CD. Aku berkelojotan nikmat dan tak mampu menolak lagi ketika ia perlahan-lahan menggulung CD ku ke bawah dan melepas dari batang kakiku. Lidahnya menelusupi lubang V-ku membuatku bergetar-getar dan akhirnya orgasme berulang-ulang. Menjelang orgasme yang kesekian kali, sekonyong-konyong Pak Siregar menaikkan tubuhnya dan mengarahkan zakarnya ke lubang nikmatku. Aku yang masih belum sadar apa yang terjadi hanya merasakan lidahnya jadi bertambah panjang dan panjang sampai.. aduuhh.. menembus selaput daraku.
“Pak, jangan pak! Jangan!” Protesku sambil memukuli punggunya. Tetapi pria ini begitu kuat. Sekali genjot masuklah seluruh zakarnya. Menghunjam dalam dan sejurus kemudian aku merasa memiawku dipompanya cepat sekali. Keluar masuk naik turun, tubuhku sampai tergial-gial, terangkat naik turun di atas ranjang pegas itu. Air mataku yang bercampur dengan rasa nikmat di vagina sudah tak berarti. Akhirnya hilang sudah perawanku. Aku hanya bisa pasrah. Bahkan ikut menikmati persetubuhan itu.
Setelah kurenung-renungkan kemudian, ternyata selama ini aku telah diperkosa secara halus karena kebodohanku yang tidak menyadari muslihat lelaki. Sedikit demi sedikit aku digiring ke situasi dimana hubungan seks jadi tak sakral lagi, dan hanya mengejar kenikmatan demi kenikmatan. Hanya mencari orgasme dan ejakulasi, menebar air mani!
Hampir dua tahun kami melakukannya setiap hari bisa dua atau tiga kali. Pak S benar-benar memanfaatkan tubuhku untuk menyalurkan kekuatan nafsu seksnya yang gila-gilaan, tak kenal lelah, pagi (bangun tidur), siang (kalau dia istirahat makan di rumah) sampai malam hari sebelum tidur (bisa semalam suntuk). Bahkan pernah ketika dia libur tiga hari, kami tidak beranjak dari ranjang kecuali untuk makan dan mandi. Aku digempur habis-habisan sampai tiga hari berikutnya tak bisa bangun karena rasa perih di V-ku. Aku diberinya pil kb supaya tidak hamil. Dan tentu saja banyak uang, cukup untuk menyekolahkan adik-adikku. Sampai akhirnya habislah proyeknya dan ia harus pulang ke kota asalnya. Aku tak mau dibawanya karena terlalu jauh dari orang tuaku. Ia janji akan tetap mengirimi aku uang, namun janji itu hanya ditepatinya beberapa bulan. Setelah itu berhenti sama sekali dan putuslah komunikasi kami. Rumahnya pun aku tak pernah tahu dan akupun kembali ke desa dengan hati masygul.

Kebetulan Membawa Nikmat

Saya adalah seorang laki-laki kira-kira berumur 33 tahun, tinggi sekitar 172 cm dengan wajah lumayan (kata teman-teman). Saya sudah bekerja dan sekarang sedang menjalani tugas keluar kota yaitu Semarang. Kisah saya ini baru terjadi sebulan yang lalu. Pada saat itu saya sedang melakukan perjalanan dari Semarang ke Jakarta naik kereta api Argo Bromo. Dari Semarang kira-kira jam 12.00 siang. Kebetulan saya duduk berdampingan dengan seorang wanita kira-kira berumur 35 tahunan. Wajahnya tidak begitu cantik, tetapi potongan tubuhnya begitu seksi dengan pakaian kaos atas berlengan panjang dengan belahan leher yang agak ke bawah dan celana sedikit longgar. Dadanya begitu menonjol dengan memperlihatkan garis belahan dada yang putih bersih. Saya memperkirakan ukuran susunya 36B. Setelah menaruh tas yang tidak begitu besar, dia duduk di sebelahku dan menyapa,
“Selamat siang Dik.”
“Selamat siang juga Bu…” jawabku.
“Adik mau ke mana?” tanyanya.
“Mau ke Jakarta Bu, kalau Ibu?” tanyaku balik.
“Kalo gitu kita sama”, jawabnya.


Begitulah perjalanan sampai akhirnya kereta api sudah hampir sampai di Stasiun Jatinegara, dia menyapaku kembali,
“Turun di mana Dik?”
“Jatinegara, Bu?” kataku sambil bertanya lagi.
“Saya juga turun di Jatinegara.” “Kalo gitu kita bisa sama-sama turun”, katanya.
Pada waktu dia mengambil tasnya dari atas tempat duduk, sementara saya masih duduk, terlihatlah tonjolan buah dadanya yang kelihatan tambah besar karena tertarik tangannya ke atas. Saya sudah membayangkan betapa nikmatnya orang yang dapat meremasnya.
“Adik naik apa?” tanyanya kembali.
“Mungkin naik taksi Bu”, jawabku.
“Saya juga naik taksi”, katanya.
“Tapi saya agak takut sebetulnya kalo sendirian, karena kata orang di Jakarta kalo naik taksi sendirian berbahaya”, katanya lagi.
Pucuk dicinta ulam tiba. Tawaranya saya sambut dengan buru-buru.
“Kalau tidak keberatan boleh saya antar.” Dan kebetulan arah kami agak searah sehingga tidak ada alasan dia menolaknya. Singkat kata, kami sudah berada dalam satu taksi. Tiba-tiba tangannya dijatuhkan ke pahaku seperti sengaja dan tidak sengaja, saya agak kaget. Dia kelihatannya tahu dan minta maaf.
“Maaf ya Dik… nggak sadar.”
“Oh, nggak apa kok Bu”,
“Jangan panggil Bu, Mbak gitu lho”, katanya.
Sampai di rumahnya, saya dipersilakan masuk. Saya turuti kemauannya. Dia kemudian masuk dan keluar sudah dengan pakaian yang lain. Atasannya adalah kaos ketat dengan model you can see, sehingga buah dadanya kelihatan makin aduhai, apalagi dilihat dari samping, kelihatan daging menonjol putih meskipun tidak terlalu banyak. Sedang bawahannya rok span di atas lutut, sehingga kakinya yang kuning langsat mengundang birahi siapa yang melihatnya. Terus terang saya bengong sampai dia menyapa,
“Ayo Dik diminum, kok bengong aja.”
“Suami Mbak ke mana?” tanyaku untuk mengalihkan kebengonganku.
“Oh.. dia masih nganterin anak ke kursus Bahasa Inggris, nanti pulangnya kira-kira jam 21.00 (pada saat itu masih jam 18.15). Sambil berbicara, dia merebahkan pantatnya didekat tempat duduk saya, sehingga tonjolan buah dadanya tersentuh oleh siku saya. “Aduh mak”, batin saya.
Kemudian saya pura-pura mengambil korek api yang ada di dekat dia duduk, sehingga tangan saya melintang ke depan dia dan tersentuh kembali buah yang besar itu, dia diam saja. Tiba-tiba tanpa kusadari, tangan kananku sudah melingkarkan ke lehernya dan dia diam saja. Akhirnya dengan kenekatan luar biasa, kucoba mencium bibirnya dan membalasnya. Di luar dugaan, dia langsung pagut bibir saya dan lidahnya menari-nari di dalam mulut saya “Aah.. aaah.. aah..” Saya langsung singkap kaos tanpa lengannya, dan kutarik ke atas BH- nya, maka keluarlah dua buah dada yang besar dan putih dengan putingnya berwarna merah kehitam-hitaman. Ukuran putingnya kecil untuk ukuran wanita seusianya. Kuelus-elus buah dadanya dan kupilin putingnya. “Aah.. ah… aduh… heh… heh…” Tangan kanannya tidak kalah galaknya, mulai menyusup ke celana dalam saya dan langsung menggenggam penis saya yang masih di dalam. Tangan kirinya membuka retsluiting celana saya dan kemudian kedua tangannya memelorotkan celana panjang dan CD saya sampai penis saya keluar dengan tegaknya. “Aauuu…” aku merintih nikmat.
Kemudian tangan kanan saya mengusap perut dan akhirnya ke lubang kemaluannya. Aduh mak sudah basah. “Dik, terus dik jangan dilepas Dik… aaahhk… ahhh”, dia mengerang kenikmatan ketika tanganku mulai mempermainkan klitorisnya. “Uugh… ugh…. ahhhh… aduh… aku sudah nggak tahan Dik… masukkan sekarang ya…” katanya. “Baik Mbak”, jawabku.
Kemudian aku menindihnya sementara dia berbaring di kursi panjang dengan sebelah kakinya terjuntai ke lantai, sehingga lubang kemaluannya yang kelihatan sudah basah dengan klitorisnya yang memerah kelihatan sekali. Aku mulai memasukkan penisku ke dalam liang kemaluannya dan “Aagh… agh… agh… terus Dik sampai dalam, agh… agh..” Aku terus memompa dan memompanya dan… “Aduh Dik aku sudah nggak tahan… aku mau ke…” erangya. “Tahan dulu Mbak…” Kemudian kemaluanku kucabut dari lubang kemaluannya dan mulutku kudekatkan ke lubang kemaluannya, dan kusedot klitorisnya sampai dia menggelinjang-gelinjang nggak karuan dan tidak berapa lama, “Aaahh… heh… heh…” napasnya tersengol-sengol. Kemudian penisku kumasukkan ke liang kemaluannya dan kupompa-pompa dan ganti aku yang mencapai klimaksnya dan, “Aaaghhh… ahhh aduh… Mbak nikmat sekali Mbak”, kataku. “Aku juga Dik.” Kemudian kami saling membereskan diri masing-masing.
Kemudian hari-hari selanjutnya kami isi dengan pertemuan-pertemuan rutin hampir tiap hari dan kebanyakan pertemuan di hotel-hotel atau di motel-motel yang lebih bebas. Kini bukan lagi rasa hanya sekedar iseng tetapi aku sudah kena hatiku yang paling dalam yaitu cinta, meskipun aku sudah beristeri. Aku tidak tahan kalau tidak bertemu sehari saja. Alasan selalu dapat aku cari saat-saat jam kantor, sehingga tidak membuat curiga isteriku. Sehingga pada suatu saat, kami bertemu dan sewa kamar hotel.
“Dik Rully…” katanya lembut.
“Ya, Mbak…” kataku.
“Aku sebetulnya ma.. mau mengatakan sesuatu.”
“silakan Mbak.. masalah apa?” tanyaku.
“Masalah kita berdua.”
“Aku sebetulnya mulai merasakan cinta kepada Dik Rully, rasanya aku sudah bukan iseng lagi”, katanya agak tidak bersuara.
“Aku juga begitu Mbak…” jawabku sambil tanganku merangkul lehernya saat kami bersandar di tempat tidur hotel.
“Tapi”, katanya.
“Tapi apa Mbak? tanyaku nggak sabaran.
“Aku harus meninggalkan kota Jakarta untuk ikut suami di Surabaya.
Dia di Jakarta hanya bersama anaknya yang masih SD, sedangkan suaminya bekerja di Surabaya.
Kami terdiam untuk beberapa saat. Tiba-tiba aku dipeluknya dengan erat sambil berkata, “Dik, ini pertemuan terakhir kita, tolong puaskan Mbak ya…” pintanya sambil menciumku. “Ya… Mbak..” aku juga membalas ciumannya dan kami saling berpagut. Lidah kami saling beradu. Tanganku mulai menelusuri T-shirtnya yang ketat tanpa BH, (sudah disiapkan dari rumah), dan menariknya ke atas, sehingga susunya yang besar mencuat keluar. Tanpa menunggu lagi tanganku sudah meremas kedua buah besar tadi. Kupilin-pilin putingnya, “Aahk… ahk… Dik… enak Dik.” Kemudian kepalaku kutundukkan dan bibirku mencium dan menyedot puting dengan perlahan dan lemah lembut sambil tangan kananku mulai meraba perut, turun ke bawah dan menyentuh celana dalamnya yang sudah basah, “uhk… uhk… ahk… Diikk… terus Dik enak ehm… ehm ahk…” dia melenguh nggak karuan. Kemudian dia mulai bereaksi, tangannya dengan nggak sabar membuka ritsluiting celanaku dan mengeluarkan penisku yang sudah tegang dan pucuknya sedikit basah.
Ditariknya penisku dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang sebelumnya belum pernah dia lakukan. “Augh…” Aku mendesah kenikmatan. “Mbak… kotor Mbak…” kataku. “Nggak apa Dik untuk perpisahan kita.” Dia tidak perduli dan mengulumnya dan mengocok penisku dengan mulutnya. Aduh rasanya seperti di awang-awang. Aku juga tidak sabar lagi dan kuturunkan kepalaku sampai mencapai liang kemaluannya dan kucium, kujilat, kemudian kukulum klitorisnya sampai dia mengerang kenikmatan, “Aahk… ahk… ahk… Dik… ahk… aku nggak tahan Dik…” Aku juga nggak perduli terus kuhisap itu klitorisnya, “Ahk… ahk… terus seperti itu. “Dik… masukkan ya… aku sudah nggak tahan… aughk…” saat kusedot klitorisnya, dan “Aaaahhh… Dik aku mau keluar Dik… tahan Mbak…” sambil aku membalikkan badanku sehingga aku menindihnya dan kucium bibirnya kembali sambil batang kemaluanku mencari-cari lubang kemaluannya dan sleeep, penisku masuk ke lubang kemaluannya dan “Aahk… ahk…” bibirku menyedot puting susunya yang kecil agak kehitam-hitaman, “Auh… auh… auh…” Nggak berapa lama, “Aaahhh… aku keeeluuarrr ahhhhaahhh…” bersamaan dengan itupun aku juga memuncratkan air maniku ke rahimnya dan “Aaagh… aahhh… Mbak, Mbak… aku juga keluar.” Kemudian tubuh kami menggeletak dengan lemas. “Dik… terima kasih ya”, katanya. “Aku juga terima kasih Mbak.

Gadis Tombhoy

Namaku Yanto umurku sekarang 33 th. Kisah ini adalah kisah nyataku yang aku alami bersama dengan anak tetanggaku sekitar 10 tahun yang lalu. Waktu itu aku masih kuliah dan Ayu, sebut saja begitu, umurnya masih sekitar 18 th dan baru saja lulus dari SMU.
Ayu orangnya supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Maka dari itu semua orang dilingkungan tempat tinggalku kenal dengan dia. Selain itu juga Ayu aktif dalam berbagai kegiatan dilingkungan kami seperti halnya karang taruna dan dia selalu terpilih menjadi ketua panitia dalam setiap kegiatan dilingkungan kami. Sifatnya yang energik itulah yang disukai siapapun. Satu lagi sifat yang sulit dipisahkan darinya yaitu, dia seorang gadis tomboy, walaupun dia sering marah jika disebut begitu.
Sikap Ayu padaku sudah seperti adikku sendiri. Dia seringkali main ke rumahku untuk sekedar bercengkerama dengan keluarga kami. Dan juga pada tetangga yang lain dia juga begitu. Karena begitu akrabnya denganku sehingga dia sering keluar masuk kamarku untuk sekedar membangunkanku dari tidur mengajakku bercanda atau kadang-kadang dia juga tak segan untuk curhat denganku.
Kebiasaan itulah yang selalu dilakukannya hingga pada suatu saat aku lupa mematikan komputer yang ada dikamarku setelah aku mengerjakan paper untuk mata kuliah Ilmu Sosial Dasar semalam suntuk. Karena kelelahan aku tertidur dimuka komputer dan aku tinggalkan komputerku dalam keadaan menyala. Sebagai anak muda menyimpan gambar-gambar porno dari disket ke disket atau bertukar VCD porno adalah hal yang wajar diantara aku dan teman-temanku. Rasa khawatirku muncul dan aku bergegas bangun.
“..Mas, koq komputernya gak dimatiin sih..?” tanya Ayu sambil menggeser-geser mouse. Untung saja ia hanya main game solitaire. Aku banting lagi tubuhku yang masih setengah nyawa ke kasur busa yang ada dilantai.
“..iya..semalem..abis ngerjain tugas..aku ketiduran, Yu..” kataku sambil bermalas-malasan dikasur
“..iya..udah sana mandi..! mana bau ih..udah sana..!” bentak Ayu sambil bercanda menirukan gaya Ibuku yang biasa membangunkanku dengan kata-kata itu.
“..hoahhh..!!” aku menguap sambil menggeliat mengumpulkan nyawa.
“..idih..baunya kemana-mana..udah sana mandi..mo mandi gak..hah?!” kata Ayu sambil merapat padaku dan memukul guling ke mukaku..
“..aduh..duh..aduh..he..he..he..aduh..!!” aku pura-pura sakit sambil tertawa terkekeh.
“..udah..sana..mandi..sana!!” bentak Ayu sambil terus memukul-mukul dengan bantal ke mukaku
Tak tahan diserang bertubi-tubi aku akhirnya menyerah dan bergegas ke kamar mandi sambil mengambil handuk dan pakaianku. Hari itu hari sabtu jadi aku tak perlu tergesa-gesa karena hari itu hari libur. Ada yang aneh karena Ayah dan Ibuku yang biasanya ada dirumah kini tidak ada. Setelah itu aku kembali ke kamarku.

“..Yu..Ibu sama Ayahku kemana..?” tanyaku pada Ayu
“..lho..Mas..koq..gak tahu sih..?” Ayu balas bertanya
“..nggak..ada apa..?” tanyaku lagi..
“..Ibu sama Ayah Mas..tadi pagi udah berangkat ke Bekasi..katanya mo lihat anaknya Mas Robi..” cerita Ayu.
Mas Robi adalah abangku. Anaknya yang juga adalak keponakanku yang umurnya baru 2 tahun sakit. Ayah dan Ibuku menengok keponakanku yang adalah cucu mereka juga.
“..Oh..” aku baru mengerti
“..iya..nah tadi Ayah sama Ibu mas Yanto nitip rumah ke aku..” kata Ayu
“..Oh..” sahut ku
“..ah..oh..ah..oh..apanya sih..?!” hardik Ayu sambil bercanda.
“..ah..nggak..” kataku sambil memperhatikan Ayu
Wajah Ayu sepertinya biasa-biasa saja. Hanya kulitnya yang putih mulus yang membuatnya terlihat cantik. Rambutnya yang dipotong pendek semakin membuat ia kelihatan tomboy. Tubuhnya sintal dan padat menyiratkan kalau ia seksi. Dalam hatiku ingin sekali menikmati tubuhnya itu yang aku rasa lebih nikmat daripada pelacur kelas kakap sekalipun. Aku atur strategi bagaimana caranya supaya aku bisa menikmati tubuhnya.
“..kenapa sih, Mas..?!” tanya Ayu yang membuat lamunanku buyar seketika
“..akh..nggak..eh..Ayu udah sarapan belom..?” tanyaku mengalihkannya
“..kenapa sih..mau Ayu buatin yah..?” kata Ayu
“..aduh kamu tuh baik sekali sih..” kataku memujinya
“..iya dong..siapa dulu dong..Ayu..” katanya membanggakan diri sambil meinggalkan kamarku
Aku buka gambar-gambar porno di folderku. Aku pajang besar-besar untuk memancing Ayu supaya melihatnya. Aku ingin tahu reaksinya. Tak lama kemudian memanggilku.
“..mas udah tuh..” katanya. Aku meninggalkan komputerku dalam keadaan gambar terdisplay besar-besar dimonitor. Perkiraanku benar saja. Ayu kembali ke kamarku. Aku sengaja membiarkannya melihat gambar-gambar porno itu karena ingin tahu reaksinya. Sementara itu aku sarapan diruang makan. Setelah itu aku kembali ke kamarku.
Tak ku sangka dan tak ku duga Ayu ternyata membolak-balik gambar-gambar yang ada difolderku sambil melihat gambar-gambar yang lain. Aku hanya memperhatikannya dimuka pintu tanpa sepengetahuannya. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ia membelakangiku entah bagaimana mimik mukanya. Perlahan aku dekati dia berbicara.
“..ehm..lagi ngapain, Yu..?” tanyaku
“..ehm..nggak..eh..eh..aduh..maaf..yah, Mas..eh..Ayu nggak sengaja..maaf udah buka-buka foldernya Mas..” kata Ayu. Ku lihat mukanya merah dan berkeringat.
“..ah..nggak pa-pa..koq..itu juga buat ngilangin stress aja..” kataku dengan ringan
“..aduh..gimana..nih.maaf yah ..mas..” kata Ayu memohon maaf padaku. Padahal aku tahu kalau Ayu malu setengah mati.
“..enggak..nggak pa-pa..koq..” kataku lagi
Kali ini aku menuntun tangannya yang memegang mouse supaya lebih aktif lagi membuka gambar yang lain. Aku rasakan keringat dingin yang membasahi tangan Ayu.
“..rileks aja oke..” kataku sambil meniup tengkuk leher Ayu. Teknik ini untuk membangkitkan birahi wanita.
“..emh..Mas..” sahut Ayu
“..tuh lihat..ditunggingin gitu trus ditubles deh pantatnya..” kataku mengomentari gambar doggy style
“..ih..masak sih..Mas..hiiy..jorok..ih..!” kata Ayu terkaget-kaget
Tanganku membimbing tangannya yang memegang mouse untuk melihat gambar selanjutnya. Kali ini gambar seorang gadis mengulum-ngulum penis pria yang berukuran besar dan panjang.
“..kalo yg ini..serem..ah..” bisikku sambil terus meniup tengkuk lehernya.
“..ih..jijik..ih..udah ah, Mas..liat yang lain aja..” bisik Ayu
Tanganku terus membimbing tangannya yang memegang mouse hingga gambar berikutnya. Kali ini gambar vagina yang dijilati oleh pria. Ayu terbelalak.
“..tuh..dijilatin..tuh..enak kali yah..?!” bisikku ditelinganya
“..ih..apa nggak jijik tuh, Mas..?!” tanya Ayu terheran-heran
“..nggak..enak..koq..liat aja tuh cowoknya ke enakkan gitu..” kataku
“..ih..” Ayu masih terlihat jijik.
“..kalo kamu mau..Mas mau tuh jilatin..” bisikku sambil menawarkan
“..” Ayu diam saja
“..gimana, Yu..kamu mau nggak..enak koq..” rayuku
“..engh..nggak..ah..” kata Ayu
“..ih..enak..enak banget..koq, Yu..” rayuku lagi
“..Mas..nggak jijik..?” tanya Ayu
“..nggak sayang..malah..Mas yang keenakan..” rayuku lagi
“..ih..eng..” Ayu masih jijik.
“..oke deh..gimana kalo mulai dengan ini dulu..” kataku sambil mengulum bibirnya dalam-dalam.
“..emh..” hanya itu suara yg aku dengar dari mulut Ayu.
Aku yg berdiri dibelakang Ayu kali ini mengulum bibir Ayu dalam-dalam. Ciumanku aku arahkan ke tengkuk lehernya sambil ku jilati tengkuk leher yang putih mulus itu.
“.emh..Mas..ohh….” hanya itu suara dari mulut Ayu membalas seranganku.
Ciuman dan jilatanku aku arahkan ke dagu dan leher Ayu terus ke bawah. Tapi kausnya masih menghalangi aksiku.
“..Ayu..bajunya, Mas..buka yah..?” bisikan rayuanku
“..emh..” hanya itu suara yg keluar dari mulut Ayu. Aku tak tahu apakah itu berarti ya atau tidak.
Perlahan-lahan aku tarik bajunya Ayu tak memberontak sedikitpun. Aku teruskan menarik kaus itu hingga terlepas. Tak ku sia-siakan kesempatan ini sambil terus membuka BH-nya. Aku tarik kancing BH-nya yg berukuran 36B. Aku lihat tulisan itu pada tanda label pada BH-nya. Kini tubuh Ayu sudah topless dan siap aku gempur bagian atasnya.
Perlahan-lahan aku papah Ayu ke kasur yang ada dilantai kamarku. Aku baringkan ia dan aku teruskan aksiku tadi.
“..Ayu..mau diterusin gak nih..” tanyaku. Aku takut nanti ia melapor pada orangtuanya kalau ia diperkosa.
“..engh..mmhh..main atas aja yah..Mas..sshtt..” pintanya dalam keadaan horny
Rupanya Ayu sudah beberapa kali main pas foto dengan teman-temannya dulu waktu disekolah. Jadi ia sudah tak heran lagi dengan yang beginian.
Kali ini bibirku mengulum dan lidahku menjilati buah dada yang bulat dengan putting susu berwarna coklat kemerahan mengacung ke atas. Aku mengulumnya sambil lidahku memainkan putting susu itu. tanganku menggerayangi buah pantatnya yg padat berisi. Aku teruskan dengan membuka celana pendek yang dikenakannya. Kali ini Ayu agak bertahan. Dia tidak mau menaikkan pinggulnya supaya celananya mudah diperosotkan. Sementara itu aku melepaskan celana pendek kolorku dan juga kausku hingga aku hanya celana dalam saja.
“..emh..jangan..mas..sshh..” pinta Ayu dalam desahannya.
“..gimana..Mas..bisa ngejilatin itunya Ayu..?” tanyaku
“..engh..jangan..mass..sshh..main atas aja..” pinta Ayu
“..nggak koq..Yu..Mas Cuma mo liat ama jilatin itunya kamu aja..Mas nggak akan ngapa-apain deh..” rayuku
Setelah itu Ayu seperti membolehkanku. Terbukti kali ini ia mengangkat sedikit pinggulnya supaya celananya bisa diperosotkan. Aku ambil dua sekaligus celana dalam dan celana luarnya sehingga Ayu langsung telanjang bulat. WOW! Kini tubuh yang selama ini aku idam-idamkan terpampang jelas didepan mata
“..ih..mas..tapi mas..jangan yah..” pintanya supaya aku juga tidak telanjang
“..lho..kenapa sayang..?” tanyaku
“..engh..jangan..deh..” pintanya lagi sambil kedua tangannya mencoba menutupi bagian paling pribadinya
“..kenapa..kamu takut..?” tanyaku
“..engh..cukup deh..gini aja..Ayu takut, Mas..” katanya dibalik nafasnya yang menderu
Aku tahu kalau Ayu masih perawan dan aku juga tak mau merusaknya. Hanya ingin memainkannya saja. Aku perhatikan bentuk tubuh Ayu yang benar-benar indah itu. Buah dada yang bulat dengan putting susu coklat kemerahan mengacung menantangku. Perut yang mulus putih bersih dan kencang. Paling utama bagian dibawah perut yang ditutupi bulu-bulu halus. Dibalik bulu halus itu terdapat bongkahan daging merah dengan celah yang sempit dari situ tersembul seonggok daging kecil seperti kacang merah merekah.
“..Ayu..punya kamu indah..banget..sayang..” kataku sambil mendekati vaginanya dan langsung mengulumnya..
“..oufh..sshhtt..engh..emh..sshtt..ough..” Ayu melenguh dan mendesah penuh kenikmatan ketika bibirku mengulum bibir vaginanya.
“..gimana enak..kan sayang..?’ bisikku.
“..emh..sshtt.ough..sshhtt..ough..sshhtt..ough..” suara desahan itulah yang keluar dari mulut Ayu.
Aku kulum-kulum kelentitnya sambil sesekali lidahku menerobos celah sempit dibawah kelentitnya. Aku julurkan lidahku dalam-dalam hingga lidahku aku merasakan seperti ada yang menghalanginya. Aku semakin yakin kalau Ayu masih benar-benar perawan. Sementara itu cairan putih bening tak henti-hentinya keluar dari kelentitnya membasahi lidah dan bibirku. Aku jilat dan aku hisap lalu aku telan cairan kenikmatan itu seperti halnya aku kehausan.
Cukup lama juga aku menjilati liang vagina itu. Sambil mulutku bermain di liang vaginanya tanganku melepas celana dalamku. Satu-satunya kain penutup tubuhku yang menutupi batang penisku. Tanpa sepengetahuannya aku berhasil melepas celana dalamku. Kini tubuhku dan tubuh Ayu sama-sama polos dan telanjang bulat. Kali ini tinggal Ayu saja yang menentukan apakah boleh atau tidak batang penisku yang sudah panjang dan keras untuk menerobos liang vaginanya.
Tak lama kemudian nafas Ayu semakin cepat dan mulutnya meracau seperti ingin menjerit.
“..auwfh..sshtt..engh..emh..augh..enaxxx..mmasshh..sshtt..ough..” begitu erangnya dan kali ini aku tahu kalau Ayu sedikit lagi akan mencapai orgasme.
Disini aku atur siasat. Aku hentikan jilatan dan kulumanku ke liang vagina Ayu hingga Ayu hampir sadar. Wajahnya yang tadi merekah kini perlahan-lahan kembali normal. Ada sedikit kekecewaan diwajah Ayu.
“..Ayu..sayang..kamu mau..kan..?” tanyaku
“..Mas..engh.. ayo dong..” begitu pinta Ayu ditengah-tengah desahan nafasnya yang tersengal
“..iya..sayang..tapi kamu mau..nggak..?” tanyaku lagi
“..iya deh..mas..Ayu mau apa aja yang Mas suruh..tapi..” aku melihat Ayu seperti mengiba padaku
“..oke..deh..punya..Mas..boleh kan dimasukin..?” tanyaku
“..iya..he..eh..egh..ayo..dong..” Ayu meminta padaku
“..ayo..apa..ayo..apa..sayang..” tanyaku pura-pura
“..Ayu mau yang tadi..” pinta Ayu
“..yang tadi..yang mana..?” tanyaku pura-pura
“..engh..” Ayu meminta dengan manja sambil menjambak rambutku dan mengarahkan pada liang vaginanya.
“..yang ini sayang..emgh.” aku teruskan lagi jilatanku..
“..iyah…ough..emh..yesshh..ough.emh..sshhtt..oufh…sshhtt..oughh..” begitu desah Ayu menimpali jilatanku hingga Ayu hampir orgasme lagi dan..
“..Ayu..mas..boleh yah..masukin..” tanyaku sambil batang tongkolku sudah menunggu dibibir vaginanya.
“..emggh..” Ayu mendesah sambil matanya terpejam dan siap menerima batang tongkolku
“..boleh..nggak sayang..emh..?” tanyaku sambil memainkan batang tongkolku dibibir vaginanya
“…” Ayu terdiam namun ia sediki mengangkat pinggulnya dan aku langsung siap mencobloskan batang penisku yang sudah keras dan panjang ini ke liang vaginanya. Namun baru didorong sedikit batang penisku seperti terpeleset begitu terus menerus hingga…
“..augh..sshhtt..” Ayu merintih
“..dikit..lagi.yah..sayang..enaxx..koq..” rayuku
“..augh..pelan-pelan..mas..aduh..sshhakit..” rintih Ayu aku lihat sedikit airmata dimatanya
Aku dorong perlahan-lahan batang penisku hingga
“..SLEB..SLEB.. BLESSS!!!” batang penisku berhasil amblas ke liang vagina Ayu
Aku diamkan sesaat batang penisku didalam liang vagina Ayu. Aku biarkan otot-otot vagina Ayu supaya terbiasa dulu dengan batang penisku yang baru saja menerobos liang vaginanya. Batang penis yang selama ini belum pernah menerobos liang vagina Ayu kini merintih.
“..sshhtt..auh..sshhtt..sakit..Mas.” aku lihat sedikit airmata dimata Ayu.
“..iya..sayang..aku tahu..sebentar lagi enak koq..yah..” kataku sambil mengulum bibirnya
Setelah itu aku liukkan perlahan-lahan pinggulku untuk memainkan batang penisku didalam liang vagina Ayu. Ayu yang tadi merintih kesakitan kini kembali mendesah penuh kenikmatan.
“..oufh..sshhtt..engh..emh..sshtt..ough..” begitu suara desahan Ayu mengiringi liukan dan terjangan batang penisku
“..ouh..Yu..kamu enaxx..banget..Yu..egh..” kataku memuji-mujinya.
Posisi tubuh kami aku atur. Kaki Ayu aku lingkarkan dipinggulku dan kedua kakiku terlipat supaya batang penisku benar-benar pada posisi yang enak diliang vagina Ayu.
Permainan ini terus berlangsung hingga dua puluh menit kemudian.
“..ough..eghh..ough..ough..egh..emh..sshhtt..ough…shhtt..ouggh..sshtt..ough..” mulut Ayu mendesah-desah penuh kenikmatan sambil meracau
“..massshhtt..augh..enaxxx..banget..mmhh…sshhtt..oughh…sshhtt..ough..shhtt..ough..” tangan Ayu memeluk punggungku erat-erat sambil kedua kakinya mencengkram erat-erat pinggangku. Ayu sebentar lagi orgasme.
“..tenang..sayang..aku juga bentar lagi..koq..” kataku sambil mempercepat liukkan pinggulku dan akhirnya..
“..augh..augh..aarghh..emh..emh..ouh..” Ayu mengerang panjang dan diakhiri dengan desahan-desahan lambat. Aku rasakan otot-otot divaginanya berdenyut-denyut seperti menyedot batang penisku. Diperlakukan begitu, batang penisku jadi terasa berdenyut-denyut akan ada yang keluar lalu tak lama kemudian.
“..Oooh..Ayuu..enaxx..” kataku sambil diikuti dengan semburan cairan kenikmatanku menembak dirahimnya.
“CROT..CROT..CROTT..!” batang penisku menyemprotkan cairan sperma penuh kenikmatan. Aku merasakan denyutan-denyutan yang dahsyat dibatang penisku.
Setelah itu bibir kami berpagutan sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan orgasme yang kami rasakan. Perlahan Ayu mengendorkan cengkeramannya dan kembali rileks.
“..makasih banget yah, Yu..kamu mau begini sama aku..” kataku sambil membelai rambutnya
“..he-eh..makasih juga yah, Mas..Ayu gak sia-sia kehilangan keperawanan kalo seenak ini..” kata Ayu yang membuatku kaget
“..jadi kamu nggak nyesel..?” tanyaku
“..nggak..eh..malah..Ayu jadi pengen dan pengen terus beginian sama..Mas..” sahutnya blak-blakan
“..eh..bagus deh..” kataku sambil menariknya ke pangkuanku dan kami kembali berciuman.
Lalu setelah cukup terangsang aku dan Ayu kembali bersenggama dengan berbagai posisi. Hari itu tak kurang dari empat kali kami bersenggama dikamar hingga siangnya kami sama-sama kelelahan lalu tertidur. Sorenya setelah bangun dari tidur kami mandi berdua dan masih melakukannya dikamar mandi.
Setelah kejadian itu aku dan Ayu masih melakukannya jika ada kesempatan hingga setahun kemudian. Ayu pindah ke daerah untuk kuliah. Hingga detik ini aku tak tahu bagaimana kabarnya ia sekarang ini.

Kisah Cinta Pertama

Cinta pertama tak pernah mati, apalagi bila cinta itu tumbuh saat masa kanak-kanak atau remaja. Kesederhanaan kala itu justru menjadikan pengalaman masa lalu terpatri erat di dalam sanubari sebagai kenangan indah yang tak terlupakan. Kisah nyata ini kualami dengan seorang gadis yang kukenal dan teman bermain sejak kecil, kisah pacaranku dengan Ayu, seorang gadis yang sangat istimewa bagiku.
Kisah ini terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Saat masih kanak-kanak, kami bermain seperti halnya anak-anak pada umumnya.
“Hoom-pim-pah ..”
“Agus jaga..”. Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami, anak-anak yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke warung Ma’ Ati yang sudah tutup. Ayu lari mengikutiku. .Aku merangkak masuk di bawah meja warung itu, Ayu mengikutiku dari belakang dan jongkok di sebelahku. Ayu dan aku mengintip lewat celah kecil di gedek di bawah meja yang sempit itu mencari kesempatan untuk lari keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kalau berada dekatnya. Waktu itu rasanya tidak ingin aku keluar dari tempat persembunyianku. Apakah ini yang namanya “cinta anak-anak”? Aku tak tahu. Yang aku tahu Ayu memang cantik. Aku juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku bilang begitu). Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya cocok kalau aku jadi pangeran, Ayu jadi puteri. Juga dalam permainan lain Ayu cuma mau ikut dalam kelompokku. Teman-temanku sering memasang-masangkan aku dengan dia.
Masa kecil kami memang menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku harus berpisah dengan teman-temanku karena harus mengikuti ayahku yang ditugaskan di kota lain. Waktu itu aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak itu aku tak pernah dengar kabar apa-apa dari teman-temanku itu, termasuk Ayu.

Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding mengalun mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan. Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka. Sampai Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk pundakku.
“Eh Rik, apa kabar?”
“Oh, baik saja oom.”
“Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku.”
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku segera teringat pada seseorang.
“Apakah, apakah dia ..?”
“Benar Rik, dia Ayu.”
“Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu.”
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.
“Ini Riki, tentu kamu kenal dia,” kata oomku.
Kami bersalaman.
“Wah, sudah gede sekali kamu Ayu.”
“Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?” katanya sambil tertawa.
Tertawanya dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada tertawanya ketika ia kecil. Aku benar-benar terpesona melihat Ayu, aku ingat Ayu kecil memang cantik, tetapi yang ini memang luar biasa. Apakah karena dandanannya? Ah, tidak, sekalipun tidak berdandan aku pasti juga terpesona. Gaun pestanya yang kuning itu memang tidak mewah, tetapi serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai. Bahunya terbuka, buah dadanya yang putih menyembul sedikit di atas gaunnya itu membedakannya dengan Ayu kecil yang pernah kukenal.
“Sudah sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain,” kata oomku seraya meninggalkan kami.
“Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ,” kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
“Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?”
“Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?”
“Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?”
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya, perlahan ia berkata, “Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah bekerja. Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu.”
“Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri-sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa.”
Kira-kira satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu itu umurku 22, dia juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama dengan umurku). Perasaan yang pernah tumbuh di sanubariku semasa kecil tampaknya mulai bersemi kembali. Rasanya tak bosan-bosan aku memandang wajahnya yang ayu itu. Apakah cinta anak-anak itu mulai digantikan dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah ia merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa simpati padanya. Malam itu sebelum berpisah aku minta alamatnya dan kuberikan alamatku.
Sekembali ke Bandung kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak pernah terlambat dia membalas suratku. Hubungan kami makin akrab. Suatu ketika ia menyuratiku akan berkunjung ke Bandung mengantar ibunya untuk suatu urusan dagang. Memang setelah ayahnya pensiun, ibunya melakukan dagang kecil-kecilan. Aku senang sekali atas kedatangan mereka. Kucarikan sebuah hotel yang tak jauh dari rumah indekosku. Hotel itu sederhana tetapi cukup bersih.
Pagi hari aku menjemput mereka di stasiun kereta api dan mengantarnya ke hotel mereka. Sore hari, selesai kuliah, aku ke hotelnya. Kami makan malam menikmati sate yang dijual di pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Ayu berjalan-jalan menikmati udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu kami mulai bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang kulingkarkan tanganku di bahunya yang tertutup oleh jaket. Kami berjalan menempuh jarak beberapa kilometer, jarak yang dengan Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi anehnya kami merasakan jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami masih melanjutkan pecakapan di serambi hotel sampai lewat tengah malam, sementara ibu Ayu sudah mengarungi alam mimpi. Besok sorenya aku ke hotel untuk mengantarkan mereka ke stasiun untuk kembali ke kota mereka. Ketika aku tiba di hotel, ibu Ayu sedang mandi, Ayu sedang mengemasi barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar itu. Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan yang sangat pribadi bagi dia. Dengan berdebar aku bangkit dari tempat dudukku berjalan dan berdiri di belakangnya, perlahan kupegang kedua bahunya dari belakang, kubalikkan tubuhnya hingga menghadapku.
“Ayu, bolehkah ..?”
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.
“Sorry Ayu, bukan maksudku ..”
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Ayu keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Ayu aku berbisik, “Ayu, sorry ya dengan yang tadi.”
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
“Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami.”
Hubungan surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga mencapai tahap serius. Aku sering membuka suratku dengan “Ayuku tersayang”. Kadang-kadang kukirimi dia humor atau kata-kata yang nakal. Dia juga berani membalasnya dengan nakal. Pernah dia menulis begini, “Sekarang di sini udaranya sangat panas Rik, sampai kalau tidur aku cuma pakai celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami (aku juga).”
Membaca surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan seperti yang diceritakannya itu. Kukhayalkan aku berada di dekatnya dan melakukan adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan ada tetesan keluar dari diriku akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan itu di kertas surat yang kugunakan untuk membalas suratnya. (Barangkali ada aroma, atau entah apa saja, yang membuat ia merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi aku tak pernah cerita pada dia tentang ini.)
Sampai tiba liburan semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.
Aku tiba pagi hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di kamar makan. Aku melihat Ayu mengenakan cincin imitasi dengan batu berwarna merah muda di jari manisnya.
“Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?”
Kutarik tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga menggenggam. Kuremas-remas jari-jari itu. Dia membiarkannya. Kami berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
“Aku bereskan meja dulu.”
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana-nama, aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
Sore harinya aku, Ayu dan adiknya menonton film di bioskop. Aku ingat ketika nonton itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia. Setelah pulang nonton kami duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu sekitar pukul sembilan. Kami hanya ngobrol-ngobrol biasa karena orang-orang di rumah itu masih belum tidur. Ayu membuat secangkir kopi untukku. Sekitar pukul sepuluh rumah mulai sepi, orang tua dan adik Ayu sudah masuk ke kamar tidur masing-masing. Hanya tinggal aku dan Ayu di ruang tamu. Ia duduk di sofa di sebelah kananku.
Dari obrolan biasa aku mulai berani. Kulingkarkan tanganku dibahunya. Ayu diam saja dan menunduk. Dengan tangan kiriku kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku ke wajahnya, kutarik dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan matanya membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma sebentar. Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku (kukira juga di kepalanya). Aku merasa jantungku berdegup.
Pelan-pelan tangan kananku kulepas dari bahunya, menyusup di antara lengan dan tubuhnya, dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia membiarkan dadanya kusentuh. Aku melangkah lagi, jari-jariku kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan bahkan menyandarkan badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau rambutnya. Aku pun tidak ragu lagi, kuremas-remas payudaranya. Ia tetap diam dan tampaknya ia menikmatinya.
Setelah beberapa saat ia menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak sengaja, ia menaruh tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing celanaku. Aku tanggap isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku, kutarik tangannya masuk ke sela yang sudah terbuka itu. Ia menurut dan ia menyentuh penisku, jari-jarinya yang tadi pasif sekarang mulai aktif. Walaupun masih terhalang oleh celana dalam, ia mengusap-usap di situ. Aku melangkah lebih jauh lagi, tanganku yang berada di dadanya sekarang memasuki dasternya, menyusup di sela-sela BH-nya dan kuremas-remas payudaranya langsung. Payudaranya memang tidak terlalu besar tetapi cukup kenyal dalam remasanku. Dia tak mau kalah, tangannya menyusup masuk ke celana dalamku dan langsung menyentuh penisku lalu mengenggamnya. Bergetar hatiku, baru kali itu penisku disentuh seorang gadis, gairahku melonjak. Dua kali ia menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak tahan .. menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana dalamku. Aku mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan tangannya dari celanaku dan melihat tangannya yang basah.
“Kental ya Rik,” bisiknya.
“Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama,” kataku kecewa.
“Aku tahu Rik,” ia memahami.
“Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu,” lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada kembali di situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.
Malam kedua. Seperti halnya malam pertama, setelah suasana sepi kami memulai dengan berciuman. Kalau kemarin hanya kecup bibir sebentar, kali ini aku mencoba lebih. Mula-mula kukecup bibir bawahnya, lalu bibir atasnya, lalu lidahku masuk. Lidahku dan lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa manis dan segar di mulutnya, kurasa ia makan pastiles atau permen pedas sebelumnya. Lalu kami main remas-remasan lagi. Kali itu dia tidak memakai BH hingga lebih mudah bagiku meremas-remas payudaranya. Seperti kemarin tangannya pun meraba-raba penisku. Aku sudah khawatir kalau aku akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya tidak. Aku juga ingin melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke bawah, kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke celananya ia menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu. Malam itu kami cuma main remas-remasan saja. Kuremas-remas payudaranya, dan dia membelai-belai penisku sementara bibir kami berkecupan. Akhirnya aku tak tahan juga hingga cairanku menyemprot keluar membasahi tangannya, sama seperti kemarin. Tetapi aku lebih senang karena kami bisa bermain-main lebih lama. Aku merasa ada kemajuan, aku lebih percaya diri.
Malam ketiga. Seperti malam-malam sebelumnya, kami mulai dengan saling berciuman di sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan aku ingat bahwa aku membawa sebuah buku seksologi. Kuambil buku itu dan kutunjukkan pada Ayu. Kubuka pada halaman yang ada gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara bekerjanya alat itu. Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru biologi aku menunjukkan contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku. Kuturunkan celana dalamku hingga penisku menyembul keluar dan kupertontonkan pada Ayu. penisku memang beda dengan yang di gambar, kalau yang di gambar itu lunglai, penisku berdiri tegak. Ayu memperhatikan penisku itu.
“Itu lubangnya ada dua ya?” tanyanya, “Satu untuk kencing, satu lagi untuk ngeluarin?”
“Ah, engga. Cuma ada satu,” kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening. Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.
“Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya,” katanya sambil tertawa.
“Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?” sahutku.
“Katanya sih,” sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
“Kalau ini isinya apa?” Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
“Biji salak kali,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
“Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar,” bisikku. Diapun menurut, dia masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.
“Boleh aku lihat punyamu?” tanyaku.
“Jangan ah,” jawabnya.
“Sebentar saja,” kataku.
Ia pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan menurunkan celana dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah, baru kali itu aku melihat alat kelamin wanita, sebelumnya aku melihatnya cuma di gambar-gambar. Tanganku pun menuju ke situ. Kuusap-usap rambutnya lalu jariku membuka celah di situ dan kulihat basah di dalamnya.
“Kok basah kuyup begini.”
“Tadi kamu juga.”
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu, tetapi aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika membaca buku seksologiku ada bagian yang namanya “labia majora”, ada “labia minora”, ada “clitoris.” Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.
“Sudah ah, malu,” katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
“Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi,” kataku bercanda.
“Kan katamu cuma lihat sebentar.”
Susasana hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya kembali mengusap-usap penisku. Tanganku juga menyusup ke celana dalamnya (dasternya masih menyingkap). Dia tidak menolak. Kuusap-usap rambut di balik celana dalam itu dan jari-jariku pun menggelitik di situ. Aku merasakan basahnya. Kurebahkan dia di sofa, kutarik celana dalamnya. Tapi Ayu menolak tanganku dan berbisik,
“Di kamar saja Rik.”
Aku sadar, di situ bukan tempat yang tepat.
“Kamu masuk duluan,” katanya.
Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk membawa handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami. Tanpa basa-basi lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan membalas dengan mengulum penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
“Rik, masukkan saja..,” bisiknya memohon.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya. Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya, seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung penisku mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak mengerang.
“Pelan-pelan Rik,” bisiknya.
Kudorong penisku pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan mengeluh. Kami berdua merasa di awang-awang. Rasanya bumi ini hanya milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari sentuhan-sentuhan yang paling peka.
Kenikmatan makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya makin kencang lalu ia memelukku erat-erat seraya merintih,
“Rik, Rik,..” Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
“Ayu..” Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
“Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi,” katanya.
“Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu,” kataku sambil membelai pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil, dan ia pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami pun tertidur.
Menjelang pagi kurasakan Ayu bangun. Ia akan mengenakan dasternya.
“Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi.”
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
“Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu.”
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
“Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik,” candanya.
Ia pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang. Ia mengecupi leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu mampir di bibirku. Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam mulutku, sebentar dalam mulutnya. Lalu ia mengangkat tubuhnya sedikit, mengarahkan lubangnya ke ujung penisku lalu ia mendorongkan tubuhnya ke belakang hingga penisku masuk ke dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di perutku. Tanganku meremas-remas payudaranya dan ia menggoyang-goyangkan tubuhnya di atasku. Mula-mula gerakannya tak terlalu cepat tetapi semakin lama ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah dalam pelukanku, aku mendengar desahnya penuh kenikmatan. Namun aku masih tegar. Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan tubuhku. Beberapa saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata yang kami ucapkan, tetapi tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan seluruh perasaan kami yang terpendam selama berbulan-bulan. Jam setengah empat sudah, ia mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke kamarnya. Aku pun tertidur dengan rasa bahagia.
Malam keempat. Kami mulai dengan bercium-ciuman sebentar di sofa. Kami tak mau berlama-lama di situ, kami pun masuk kamar. Setelah mengunci pintu ia melepaskan dasternya. Aku juga melepaskan pakaianku. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat berwarna biru muda. payudaranya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di balik blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang transparan itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya menerawang. Aku terpesona melihat Ayu berdiri di depanku dengan pakaian begitu seksi. Rambutnya yang bergerai panjang, tubuhya yang semampai sangat serasi dengan yang dipakainya. Aku duduk terpana di tempat tidur memandangnya. Kalau saja aku bisa memotretnya pasti tiap malam kupandangi foto itu dengan penuh pesona.
“Luar biasa Ayu, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu itu?”
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya lalu kudekap dan kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup dadaku di berbagai tempat.
Kulepas celana mini dan blousenya. Sekarang tak ada apa-apa lagi yang melekat di tubuh kami. Aku duduk dan ia duduk di pangkuanku berhadapan dengan aku. Punya kami saling menempel. penisku berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan rambut-rambutku, hingga penisku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera kamipun berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami bercumbu rayu dengan berbagai cara. Seperti malam sebelumnya, malam itu kami melakukan lagi dua kali.
Esoknya aku harus kembali ke kotaku. Hari itu Ayu mengambil cuti seharian ia menemaniku. Sore hari Ayu mengantarku ke stasiun kereta api. Kulihat matanya berkaca-kaca ketika aku menyalami dia.
“Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu,” katanya ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
“Aku pasti datang lagi Ayu,” tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.

Ngentot Gadis Cina

Hallo para pembaca yang budiman. Cerita ini terjadi sebulan sbl aq tulis cerita ini.aq kuliah di sebuah universitas ternama dimalang.awal perkenalan ku dengan gadis cina ini terjadi lewat chating intranet.awalnya aq hanya iseng tuk godain dia…eh ternyata ada respon,ya sekalian qt keluar warnet bareng tuk mkn siang.pertemuan kedua terjadi saat si gadis cina baru pulang sekolah…
Oh yaaa gadis cina ini bernama neti(nama samaran).ia masih kelas 1 sma.ketika ia minta dijemput pulang sekolah aq sanggupi aja…apalagi saat itu aq tidak ada mata kuliah.
sesampainya di tempat sekolahan neti lgsg aja dia ngajakin aq jalan2 ke alun2,setelah puas jalan2 akhirnya aq ajakin neti ekos ku yang memang agak free utk bawa masuk cewek.tanpa babibu ketika di dalam kamar kos lgsg aja neti aq peluk n cium.

Tapi gak ada reaksi sama sekali dari neti yang membuatku melanjutkan aktivitas ciumanku,selang berapa lama netipun membalas ciuman ku dengan begitu buasnya karena sudah gak kuat menahan rangsangan yang ku berikan.bibirnya yang merah aku lumat dan dia menjulurkan lidahnya masuk kedalam mulutku sehingga lidah kamipun saling beradu.tanganku mulai beraksi meremas payudaranya yang masih terbungkus seragam sekolahnya.nafas kami semakin terbawa nafsu dengan rangsangan yang saling kami berikan.
Tanpa ragu lagi aq buka seragam sekolahnya dan kulihat putingnya yang masih kecil berwrna kemerahan.aq ciumi puting dan gigit kecil puting itu yang membuat neti mndesah kenikmatan ahh ahh ahhhh lidahku ku permainkan di putingnya kiri dan kanan yang membuat neti semakin menggelinang.tangan ku semakin liar tidak cukup di dada akhirnya turun keselangkangan neti yang masih berbalut rok,namun ku paksain jari jari tangan ku menembus rok sekolah dan celana dalamnya,dan ku gosok gosokkan jari tangan ku di bibir vaginanya….

Karena neti sudah gatahan akhirnya dia sendiri membuka rok dan celana dalamnya.maka totallah sudah tubuh neti tanpa sehelai kainpun menutupi tubuh putih cina nya.tidak hanya tangn ku yg bermain setelah puas dengan payudaranya akhirnya jari tengah ku ku masukin kedalam meki nya,aq jadi tahu kalo ternyata neti sudah gak prawan lagi karena terlalu mdah jariku masuk vagina nya,tidak haya tangan, lidah ku pun bermain dengan klitoris memek neti yang membuat neti keenakan dengan desahan yang membuat sibudi kecilku sudah gak kuat lagi tuk berontak.
Aku hentikan aktivitas ku sementara dan ku tanggalkan semua yang ku kenakan dan hanya tinggal kulit yang membungkus kedua tubuh telanjang kami.melihatku telanjang neti pun berkata wawwwww gede juga kontol mu…
Aku jadi semakin bernafsu dengan pujiannya,ukuran penisku tidak begitu besar dengan panjang 16 diameter 5 ukuran nrmal org indonesia kebanyakan.setelah puas aq mempermainkan susu dan meki si neti kini giliran si budi kecilku yang ingin ikut permainan ini, ku baringkan tubuh neti di pinggir tempat tidur dan aq pun dekatkan si budi kecil ku di antara kedua pahanya.ketika ku masukin budi kecil kedalam sarangnya dengan sekali dorongan bablaslah semua tubuh sibudi kecoil masuk ke memek neti.ku diamkan sejenak si bdi kecil menikamti panasnya isi dalam memek neti.lalu aq goyang perlahan sedikit demi sedikit yang membuat kenikamtan yang kami lalui begitu terasa.neti hanya mendesis seperti orang yang habis makan cabe shhhh shhh cepat lagi sayaang ….terus…teruss.. kata kata kotor pun keluar dari bibirnya yang tidak ku tinggal untuk di kecup sambil ku entot mekinya.semakin cepat goyangan ku semakin tidak karuan bibirnya berucap kata kotor,jancuk nikmat aduuuuuuuuuuuww trusss sayang iyaaaaaaa
tapi aq perlahan goyangan ku yang membuat neti melingkarkan kakinya kepunggungku dan menggoyang goyangkan pinggulnya dengan cepat.
Kurasa nikmat saat itu dan tanpa sadar aq percepat lagi sodokan ku,bunyi decak becek di dalam vaginanya membuat bunyi decak ck ckckc kckck kckck yang abikin nikmat semakin terasa.sayaaaang aq mo keluar keluarin di dalam ya kata ku tak berapa lama kemudian jagn aq takut hamil…setelah merasa pompaan sperma semakin mendesak aq cabut kontol ku dan ku kocok ku semprot di payudaranya…
Setelah istirahat sejenak kami pn melakukan nya lagi dengan berbagai macam gaya…sampai puas,stelah puas dengan kenikamtan hhari itu aq antari neti sampai ke rumahnya…
seminggu kemudian aq dapat kabar neti pindah ke singapura ngikut ekluarga nya…
bnamun kenikmatan bersama nya takkan ku lupa…

Pesta Sexs Anak SMP

Namaku Sonny, dulu sewaktu masih SMP ada beberapa teman wanita yang naksir denganku, maklumlah waktu itu aku bintang kelas di SMP tersebut, di antara perempuan-perempuan tersebut adalah Rere, Vinvin (nama samaran) yang ada hubungannya dengan ceritaku ini.
Aku sekarang sudah bekerja di suatu perusahaan swasta di Jakarta yang kebetulan aku termasuk eksekutif muda. Nah, bulan mei 99 kemarin, aku ada meeting di Surabaya dan kebetulan hari itu ulang tahun Rere (Rere termasuk wanita yang lumayan tingginya 170, branya 36 dan bodinya itu tuch yang semok alias seksi montok). Sehabis meeting, aku iseng menelepon Rere dan dia mengundangku datang ke rumahnya. Kemudian aku langsung saja cabut ke rumah Rere, eh nggak tahunya di situ ramai juga teman-temennya yang datang, termasuk Vinvin.

Acara pesta tersebut berlangsung sampai jam 9 malam. Di pesta tersebut Rere cerita kepadaku kalau minggu depan dia mau menikah terus Vinvin minggu depannya lagi, lalu Rere cerita masa-masa dia naksir aku terus sampai sekarang dia masih kangen berat. Maklumlah sudah 2 tahunan nggak jumpa. Kebetulan waktu itu komputer dia lagi ngadat. Nah kesempatan buatku untuk tinggal lebih lama. Langsung saja kucoba membetulkan PC-nya. Sementara di rumahnya tinggal Vinvin saja yang belum pulang dan orang tuanya juga nggak ada.
Pas sedang asyik mengutak-atik PC-nya, dia menungguku di sampingku dengan sekali-sekali melirikku, aku sendiri masih hati-hati mau menembak dia. Eh nggak tahunya si Vinvin main serobot saja. Dari belakang Vinvin langsung memelukku dan meng-kiss pipiku (Vinvin nggak beda jauh sama Rere, bedanya mata Rere kebiru-biruan sedikit dan lebih hitam dari Vinvin). Punggungku terasa ada benda kental yang bikin aku naik. Habis itu Vinvin membisikan kalau dia masih kepingin denganku, terus aku responin juga kalau aku kangen juga, terus kulumat saja bibirnya yang mungil kemerah-merahan itu. Vinvin langsung balas dengan penuh nafsu dan tetap memelukku dari belakang tapi tangannya sudah langsung menggerayangi penisku, dalam hati ini anak kepingin di embat nich. Aku lihat Rere disampingku bengong saja dan cemberut merasa kalah duluan. Terus Rere pergi sebentar, aku masa bodoh saja, kutarik si Vinvin ke pangkuanku dan bibirnya masih kulumat habis. Gila! nafsunya besar sekali! Setelah itu kualihkan dari bibir, kukecup terus ke bawah sambil tanganku meraba buah dadanya yang besar dan kenyal. Pas kukecup di belahan buah dadanya, Vinvin berteriak, “Sstt aahh” dan semakin kencang remasan tangannya yang sudah masuk ke CD-ku, kubuka saja bajunya terus branya sekalian. Kelihatan buah dadanya menggantung siap diremas habis. Dengan gemasnya kulumat habis buah dadanya sampai dia menggelinjang keenakan dan suara yang “sstt sstt aahh…” Setelah itu tanganku pindah ke CD-nya yang sudah basah, langsung saja kulepas roknya. Dia pun kelihatan bugil tapi masih pakai CD.

Terus Rere datang dengan membisikanku bahwa kalau mau meneruskan di dalam kamarnya saja. Tanpa pikir lama-lama, langsung saja kugendong Vinvin sambil buah dadanya terus kuhisap ke dalam kamar Rere. Terus aku telentangi Vinvin di tempat tidur Rere, aku lihat Vinvin sudah pasrah menantang, langsung saja kubuka CD-nya, ehh ternyata bulu Vinvin rapi dan kecil-kecil, langsung saja kulepas celanaku sama CD-ku sampai aku bugil ria. Terdengar teriakan Rere kaget melihat penisku sepanjang 22 cm dan gede banget katanya sambil ngeloyor pergi meninggalkanku dan Vinvin. Aku tidak peduli lagi sama dia, langsung saja penisku aku arahkan ke vagina Vinvin, uhh seret banget, dan kulihat Vinvin menggigit bibirnya dan berteriak, “Aakkhh eegghh…” Kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan sambil tangannya meremas seprei. Rupanya dia masih Virgin sehingga seret sekali memasukannya. Baru kepalanya saja Vinvin sudah teriak. Aku tahan sebentar, terus tiba-tiba langsung saja kusodok lebih keras, Vinvin langsung saja teriak kencang sekali. Masa bodoh, aku teruskan saja sodokanku sampai mentok. Rasanya nikmat banget, penisku seperti diremas-remas dan hangat-hangat basah.
Sambil menarik napas, kulihat kalau Vinvin sudah agak tenang lagi, tapi rupanya dia meringis menahan sakit, kebesaran barangkali yach? Setelah itu aku tarik penisku pelan-pelan dan kelihatan sekali vagina Vinvin ikut ketarik terus kepalanya geleng-geleng ke kiri dan ke kanan sama matanya terpejam-pejam keenakan sambil teriak, “Sstt aahh sshh egghh…” Sampai penisku tinggal kepalanya saja, langsung saja aku sodok lagi ke vaginanya sekeras-kerasnya, “Bleesshh…” Vinvin berteriak, “aahh..” Kira-kira 5 menitan vagina Vinvin terasa seret. Setelah itu vaginanya baru terasa licin hingga semakin nikmat buat disodok, semakin lama sodokanku semakin kupercepat sampai Vinvin kelihatan cuma bisa menahan saja. Rupanya Vinvin kurang agresif. Terus kusuruh Vinvin menggerakan pantatnya ke kiri dan ke kanan sambil mengikuti gerakanku. Baru beberapa menit Vinvin sudah teriak nggak karuan, rupanya dia mau orgasme. Makin kupercepat gerakanku, akhirnya Vinvin berteriak kencang sekali sembari memelukku kencang-kencang, lama sekali Vinvin memelukku sampai akhirnya dia telentang lagi kecapaian tapi penisku masih menancap di vaginanya. Sekilas kulihat kalau Rere melihatku sambil menggigit jarinya, terus Rere mendekati kami berdua kemudian bertanya “Bagaimana tadi?” Aku senyum saja sambil penisku masih kutancapkan di vagina Vinvin, terus Rere duduk di tepi ranjang dan ngobrol kepadaku. Aku iseng, kupegang tangan Rere terus aku remas-remas. Tapi dia tetap diam saja. Setelah itu kutarik dia lalu kucium bibirnya yang ranum dan tubuhnya kutelentangi di atas perut Vinvin tapi penisku masih tetap menancap di vagina Vinvin, tidak ketinggalan kuremas-remas buah dada Rere sambil matanya terpejam menikmati lumatan bibirku dan remasan tanganku.

Sementara si Vinvin mencabut penisku lalu pergi ke kamar kecil dan jalannya sempoyongan seperti vaginanya ada yang mengganjal. Terus kubuka saja baju Rere sementara tangannya sudah merangkul tengkukku. Setelah itu kujilati saja buah dadanya sambil sekali-kali kuhisap sampai dia menggelinjang kegelian. Terus kuraba CD-nya. Rupanya sudah basah, nggak ambil peduli langsung saja kulepas seluruh celananya sampai Rere benar-benar bugil. Terus aku suruh Rere pegang penisku sampai muka dia kelihatan kemerahan. Rupanya dia belum pernah merasakan begituan. Setelah itu aku perbaiki posisinya biar nikmat buat menyodok vaginanya. Kemudian Rere bertanya kalau dia mau diapakan. Aku suruh Rere pegang penisku lalu kugesek kevaginanya. Dia tercengang mendengar kataku, tapi dia tetap melakukan juga. Sambil matanya terpejam, Rere mulai menggesek penisku kevaginanya, pas menyentuh vaginanya, dia kelihatan nyegir sambil mendesah-desah, “Aahh…”, sementara aku sibuk meremas-remas sambil menjilati buah dadanya yang semakin lama semakin mengeras dan kelihatan puting buah dadanya semakin munjung keatas.
Pelan-pelan kudorong pantatku sampai penisku menempel lebih kencang di mulut vaginanya. Rere diam saja malah semakin keras rintihannya, eh nggak tahunya Vinvin tiba-tiba saja mendorong pantatku sekeras-kerasnya secara langsung penisku kedorong masuk kedalam vagina Rere sedangkan Rere menjerit keras, “aakkh sakit Sonny, apa-apaan kamu”, sambil badan Rere menggeliat-geliat kesakitan sementara tangannya menahan pinggulku. Sedangkan Vinvin bilang ke Rere kalau sakitnya hanya sebentar saja, terus Vinvin malah mendorong lebih keras lagi sambil menarik tangan Rere biar tidak menahan gerakan pinggulku. Rere kelihatan menahan sakit sambil menggigit bibirnya. Sampai akhirnya masuk semua penisku. Rere kelihatan mulai mengatur nafasnya yang tersengal-sengal selama menahan tadi. Aku biarkan dulu beberapa menit sambil mencumbu Rere biar dia tambah naik sementara Vinvin yang masih bugil tadi melihat saja di samping tempat tidur sambil tertawa centil. Tidak lama Rere sudah mulai dapat naik lagi, malah semakin menggebu saja. Mulai kutarik penisku pelan-pelan terus kusodok lalu masuk agak kencangan sedikit, seret sekali. Tiba-tiba bell pintu berbunyi lalu Vinvin mengintip lewat jendela kamar lalu pakai bajunya yang panjang sampai lutut terus Vinvin ngeloyor pergi sambil ngomong, “Nyantai saja, terusin biar aku yang nemuin”, tahu gitu aku teruskan saja kegiatanku yang sempat terhenti, aku lihat Rere masih nyengir sambil kepalanya geleng kekiri dan kekanan terus pinggulnya digerakan pula mengikuti irama gerakanku. Rupanya vaginanya cepat basah dan mampu menelan penisku sampai penuh.

Sementara tanganku sibuk meremas buah dada Rere, aku terus menggenjotnya semakin cepat sampai dia mendesah-desah lebih keras terus tangannya meraba-raba punggungku lalu tiba-tiba kakinya dilipat ke atas pantatku sambil memelukku dan berteriak “aagghh”, kencang sekali hingga gerakanku tertahan dan terasa ada cairan hangat keluar dari vaginanya hingga menambah rasa nikmat. Rupanya dia orgasme beruntun, setelah pelukan dia mulai kendor. Aku teruskan lagi genjotanku pelan-pelan sambil mulai mencumbu dia biar naik lagi. Tidak lama dia sudah naik lagi terus aku ambil posisi lebih tegak sambil tanganku pegang pinggulnya dan tangannya memuntir-muntir putingku sambil tersenyum manis. Makin lama gerakanku semakin kupercepat sodokanku, waktu kudorong ke vaginanya aku keras-kerasi lalu kulihat Rere sudah mulai memejamkan matanya dan kepalanya geleng-geleng ke kiri dan ke kanan mengikuti irama genjotanku. Aku sendiri rupanya sudah mau orgasme, maka aku genjot lebih kencang lagi sampai vaginanya bunyi kencang banget, nggak lama aku mau keluar kutarik penisku biar ejakulasi di luar. Dia malah menahan pantatku biar nggak ditarik ke luar langsung saja kudorong lagi sembari kupeluk dia erat-erat sambil teriak, “Aargghh.. eegghh..”, kemudian Rere juga teriak lama sekali, aku ejakulasi di dalam vagina Rere sampai Rere gelagapan nggak bisa napas, kira-kira semenitan aku dekap Rere erat-erat sampai aku kehabisan tenaga, terus kucabut penisku dan kelihatan maniku sampai keluar dari vaginanya bareng darah perawannya yang sobek karena kerasnya serobotan penisku dibantu dorongan Vinvin yang keras dan tiba-tiba tadi.
Sementara itu Vinvin kedengarannya ngobrol sama seorang cewek, rupanya teman Rere itu ketinggalan dompet terus kebetulan Vinvin juga kenal sama dia, nggak lama kemudian Vinvin masuk ke kamar terus menanyakan aku, “Mau kenalan nggak sama temanku?” aku jawab, “Masa aku bugil begini mau dikenalin”, “Cuek saja, lagian tadi aku sama dia sudah ngintip lu waktu sama Rere tadi”, aku bengong saja terus Vinvin membisikan sesuatu ke Rere terus Rere mengangguk sambil tertawa cekikikan terus Rere membisikan kepadaku supaya aku nanti menurut saja, katanya asyik sich. Lalu Vinvin dan Rere yang cuma pakai selimut menemui temannya tadi terus diajak masuk sebentar ke kamar Rere sambil matanya ditutup pakai T-shirt Vinvin. Setelah itu Vinvin kasih isyarat ke aku biar diam saja sambil menuntun Christ (nama temannya tadi) supaya rebahan dulu di tempat tidur. Tentu saja Christ bertanya kalau ada apa ini. Lalu Vinvin bilang kalau entar pasti nikmat dan nikmati saja. Christ mengangguk saja lalu Vinvin menyuruh Rere pegang tangan Christ yang diangkat di atas kepalanya dan Vinvin meraba-raba sekujur badan Christ di dalam bajunya, tentu saja Christ teriak kegelian sampai akhirnya mendesah-desah keasyikan lalu Vinvin pindah posisi dari duduk di atas paha Christ beralih ke samping sambil kasih kode ke aku biar aku duduk menggantikan dia sambil tangan Vinvin dimasukan ke dalam bra punya Christ, aku menurut saja sambil mulai mengikuti Vinvin meraba-raba tubuh seksi Christ, sementara Christ kaget dan mulai meronta-ronta nggak mau diteruskan, aku yang sudah tanggung begitu langsung saja turun lalu menarik kaki Christ supaya posisi pantatnya pas di sudut tempat tidur kelihatan Rere mengikuti dan tetap memegang tangan Christ yang sudah mulai meronta dan berteriak-teriak “Jangan”, lalu Vinvin menutup mulut Christ dan melumat bibirnya sembari kasih kode ke aku biar diteruskan saja, langsung kubuka ritsluiting celananya dan kelihatan pahanya yang putih dan bentuk kakinya yang seksi membuat aku cepat naik, waktu aku mau peloroti CD-nya, Christ malah meronta-ronta sambil kakinya menendang-nendang hingga aku kesulitan. Aku jepit kakinya dengan pahaku lalu CD-nya aku tarik paksa sampai di bawah lututnya terus aku berdiri sedikit buat melepas CD-nya tadi habis itu aku kangkangi pahanya sembari aku arahkan penisku yang sudah tegang berat ke vagina Christ yang ada di sudut tempat tidur itu.
Setelah kepala penisku menyentuh mulut vaginanya, aku pegangi pinggulnya biar Christ agak diam nggak meronta-ronta supaya aku bisa menyodok dengan mantap, gerakan pinggul Christ sudah dapat aku tahan lalu aku cepat-cepat menyodok penisku sekeras-kerasnya ke vaginanya, sesaat kelihatan gerakan Christ yang berontak tertahan selama aku dorong masuk penisku tadi sampai mentok, seret banget dan masih agak licin, aku lihat Vinvin masih melumat bibir Christ sementara Rere melihat penisku yang sudah menancap 3/4 saja di vagina Christ tadi, setelah aku diamkan beberapa saat, aku tarik lagi penisku lalu kudorong masuk lagi sementara Christ kembali meronta-ronta menambah nikmatnya goyangan liarnya, lama-lama Christ mulai melemah rontanya dan mulai kedengaran desahan Christ, nggak tahunya Vinvin sudah nggak melumat bibirnya tadi. Mendengar desahan dan rintihannya itu bikin aku semakin ganas, tanganku mulai meraba ke atas dibalik T-shirtnya sampai menyentuh buah dadanya yang masih terbungkus bra. Lalu aku singkap bajunya ke atas terus Vinvin membantu membukakan bra Christ tadi sementara Rere sudah melepaskan pegangan tangannya dan Rere mengambil guling lalu memeluk guling itu sambil menggigit bibirnya sambil terus melihatku yang lagi “ngerjain” Christ dengan ganas, lalu Vinvin ke kamar mandi sementara aku semakin percepat gerakanku yang semakin keras sambil kuremas-remas dan kujilati puting buah dadanya yang sudah merah merona serta desahan dan rintihan Christ yang menambah nafsuku.
Rupanya rontaan Christ yang liar membuatku semakin cepat keluar, baru 5 menitan aku sudah nggak tahan lagi, aku dorong keras-keras sambil kupeluk Christ sekencang-kencangnya sampai Christ nggak bisa nafas tapi masih tetap menggoyang pinggulnya, aku ejakulasi 30 detik lamanya kemudian Christ gantian mendekapku sambil menggigit telingaku sembari melenguh menahan kenikmatan yang baru dia rasakan, sementara penisku yang masih di dalam vagina Christ terasa hangat karena cairan yang keluar dari vaginanya tadi. Christ orgasme sampai 15 detik lalu aku terkulai lemas di samping tubuh Christ lalu Vinvin kembali ke tempat tidur lagi dan kami berempat pun terdiam tanpa ada yang berbicara sampai tertidur semuanya.